Di bawah pengawasan pemerintah yang ketat, praktik spiritual dikatakan disaring dengan hati-hati, menyisakan sedikit ruang untuk keyakinan independen. Apa yang muncul adalah pengalaman yang terkendali, lebih banyak tontonan daripada tempat perlindungan di mana kerinduan spiritual tidak dipenuhi dengan transendensi, tetapi dengan transaksi.
Ledakan ekonomi kuil di China tampaknya mencerminkan strategi negara untuk mendapatkan keuntungan dan memperkuat kontrol, daripada sekadar menyediakan perlindungan spiritual. Banyak anak muda memang mencari ketenangan dan makna di kuil, namun sistem yang ada dirancang untuk memaksimalkan nilai ekonomi dan politik, bukan kebebasan beragama.
Partai Komunis China secara aktif mengubah kuil menjadi sumber pendapatan, alat propaganda, dan aset pariwisata, sambil tetap menjaga tampilan kesinambungan budaya. Pada akhirnya, ekonomi kuil menunjukkan bahwa bahkan ruang sakral di Tiongkok tidak lepas dari pengaruh dan kendali negara.
(Rahman Asmardika)