Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sosok Residen Belanda Pembenci Pangeran Diponegoro hingga Dianggap Lecehkan Keraton Yogya

Avirista Midaada , Jurnalis-Selasa, 29 Juli 2025 |10:30 WIB
Sosok Residen Belanda Pembenci Pangeran Diponegoro hingga Dianggap Lecehkan Keraton Yogya
Pangeran Diponegoro (Foto: Ist)
A
A
A

PEJABAT tinggi Belanda di Yogyakarta langsung bermusuhan dengan Pangeran Diponegoro saat pertama kali tiba. Pejabat itu adalah Anthonie Hendrik Smissaert, yang baru dilantik sebagai Residen Yogyakarta menggantikan Baron Van Salis. 

Jabatan residen kala itu setara dengan gubernur. Pergantian kepemimpinan pada 1823 membuat kestabilan wilayah Yogyakarta mulai goyah. 

Meski begitu, gaya hidup sang residen baru justru dianggap sangat menguntungkan Pangeran Diponegoro. Smissaert, yang merupakan mantan kepala kehutanan, dikenal gemar hidup mewah dan berfoya-foya.

Ia lebih sering menghabiskan waktu di vilanya di Bedoyo, di tengah-tengah perkebunan, daripada tinggal di loji resminya. Di sisi lain, Smissaert — meski belum pernah bertemu langsung — menunjukkan kebencian mendalam terhadap Pangeran Diponegoro, tanpa alasan yang jelas.

Ketiadaan pemimpin berwibawa di lingkungan keraton membuat para pejabat Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap pejabat Kesultanan, tanpa menghormati adat dan tata krama Jawa.

Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia, pada rapat-rapat resmi yang diadakan setiap Senin dan Rabu, Residen Belanda selalu duduk di kursi (mahligai) yang diperuntukkan bagi Sultan Yogyakarta. 
Tindakan ini dianggap sebagai pencemaran kekuatan gaib oleh para bangsawan keraton. Tingkah laku pejabat Belanda yang seenaknya masuk ke dalam keraton, bahkan menjalin hubungan gelap dengan beberapa putri keraton, membuat Pangeran Diponegoro semakin prihatin. 

Selain menyangkut masalah moral, konflik pribadi antara Diponegoro dan Smissaert semakin meruncing setelah terjadi insiden saling mempermalukan di depan umum dalam sebuah pesta di kediaman Residen.

 

Puncak ketegangan terjadi ketika Smissaert dan Pangeran Danurejo memerintahkan pemasangan anjir (pancang) sebagai tanda pembangunan jalan baru yang sengaja melintasi tanah milik Diponegoro di Tegalrejo.

Pangeran Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk mencabuti pancang-pancang tersebut. Dalam memoarnya, Diponegoro menulis: "Sesudah salat Asar saya keluar rumah melihat ada gerombolan orang. Saya bertanya kepada seorang pembantu saya, Ki Soban namanya." 'Soban, apa yang terjadi kok banyak orang bergerombol?'
'Orang dari luar, Gusti. Utusan Patih akan membuat jalan.' Saya panggil pembantu lain, Mangunharjo. 'Apa yang terjadi, Mangunharjo? Kenapa tidak memberi tahu saya? Cabut semua pancang itu!'”

Setelah Residen menerima laporan bahwa pancang-pancang itu dicabut oleh pengikut Diponegoro, Danurejo memerintahkan pemasangan kembali pancang-pancang tersebut dengan dikawal pasukan Macanan, yakni pasukan pengawal utama dari Kepatihan.

Namun, pengikut Diponegoro kembali mencabuti pancang-pancang yang baru. Mereka bahkan mengganti pancang-pancang tersebut dengan tombak, sebagai bentuk perlawanan simbolik yang semakin mempertegas bahwa konflik telah mencapai titik didih.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement