JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, mengecam keras aksi perusakan rumah doa dan pembubaran ibadah jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Padang, Sumatera Barat.
Menurutnya, tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran hukum pidana, tetapi juga merusak sendi-sendi konstitusi dan hak asasi manusia (HAM).
"Ini bukan hanya soal vandalisme atau pelanggaran ketertiban umum. Ini adalah bentuk nyata persekusi berbasis keyakinan, dan merupakan serangan terhadap kebhinekaan serta prinsip-prinsip dasar negara," kata Abdullah, Kamis (31/7/2025).
Peristiwa terjadi ketika puluhan warga menggeruduk dan merusak sebuah rumah yang dijadikan tempat ibadah jemaat Kristen di RT 03/09, Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumbar pada Minggu (27/7/2025) petang.
Dalam video yang viral di media sosial, tampak sejumlah orang membubarkan ibadah jemaat GKSI sambil membawa kayu serta merusak kursi dan kaca. Jemaat tampak berlarian, bahkan beberapa anak-anak menangis ketakutan.
Setelah kejadian, Polda Sumbar langsung mendatangi lokasi dan mengamankan tempat kejadian perkara (TKP). Polisi menyatakan akan menindak para pelaku meskipun belum ada laporan resmi yang masuk.
Abdullah mendesak Polda Sumatera Barat untuk tidak hanya menindak pelaku di lapangan, namun juga menyelidiki kemungkinan keterlibatan aktor intelektual di balik perusakan tersebut.
"Polda Sumbar harus selidiki aktor intelektual, penghasut, atau pihak-pihak yang secara sistematis mendorong terjadinya kekerasan berbasis identitas itu," tegas Legislator dari Dapil Jawa Tengah VI itu.
"Ini penting untuk memastikan penegakan hukum dilakukan secara utuh dan tidak berhenti pada pelaku teknis semata," lanjutnya.
Dalam konteks negara hukum (rechtsstaat), Abdullah menegaskan bahwa perusakan rumah ibadah merupakan kejahatan serius terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
“Hal ini sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, serta peraturan perundang-undangan lain yang relevan, seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama,” ujarnya.
Lebih lanjut, Abdullah meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola penanganan kasus-kasus intoleransi oleh aparat penegak hukum, termasuk kepolisian dan kejaksaan. Menurutnya, selama ini penyelesaian kasus intoleransi kerap kali berujung pada kompromi administratif atau mediasi sepihak yang tidak menguntungkan korban dan justru memperkuat impunitas bagi pelaku.
“Tidak boleh ada pembiaran atau penyelesaian kompromistis terhadap kejahatan kebencian. Negara tidak bisa tunduk pada tekanan kelompok mayoritas ketika konstitusi sudah tegas melindungi semua warga negara secara setara,” pungkasnya.
(Awaludin)