CIREBON - Kenaikan pajak tidak hanya berlaku di Pati, Jawa Tengah. Pemerintah Kota Cirebon telah menetapkan kenaikan pajak sebesar 1.000 persen sejak 2024.
Menyikapi hal itu, Paguyuban Pelangi Kota Cirebon, yang beranggotakan berbagai elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, kembali menggaungkan tuntutan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di wilayah setempat.
Perwakilan Paguyuban Pelangi, Hetta M. Latumetten, menegaskan perjuangan ini tidak akan berhenti sampai suara warga benar-benar didengar para pemangku kebijakan. Ia menyoroti lonjakan PBB di Kota Cirebon yang dinilai jauh lebih tinggi dibandingkan daerah lain, seperti Kabupaten Pati.
“Di Pati, kenaikan hanya sekitar 250 persen. Di Kota Cirebon bisa hampir 1.000 persen. Kenapa kita tidak bisa seperti Pati? Kami akan berjuang sampai kapan pun. Dari awal 2024 kami sudah bergerak, sampai ke Presiden dan Mendagri, dan sudah mendapat respons,” ujarnya, Rabu (13/8/2025).
Menurut Hetta, ada empat kecamatan di Kota Cirebon yang terdampak kenaikan signifikan, namun aspirasi masyarakat kerap dianggap hanya mewakili “1 persen” suara. Padahal, hampir seluruh wilayah mengalami kenaikan minimal 100 persen.
“Hanya karena nilainya dianggap kecil, 50–100 persen, lalu dibilang tidak berdampak. Tapi ingat, 1 persen bahkan setengah persen pun tetap bagian dari masyarakat Kota Cirebon,” tegasnya.
Sejak Januari 2024, Paguyuban Pelangi telah menempuh berbagai langkah, mulai dari menyampaikan aspirasi ke DPRD Kota Cirebon, menggelar aksi turun ke jalan, hingga audiensi ke pemerintah pusat. Namun, perubahan yang dirasakan warga masih minim.
Paguyuban Pelangi berharap dukungan luas dari masyarakat agar desakan revisi kebijakan PBB ini mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah maupun pusat.
Salah satu tokoh masyarakat, Surya Pranata, mengungkapkan, tagihan yang dibebankan kepada rakyat sangat tidak wajar dan memberatkan.
Tahun 2023, dirinya mengaku membayar PBB sebesar Rp 6,2 juta. Tapi di tahun 2024, dirinya mendapatkan tagihan hingga Rp 65 juta.
Surya Pranata menuturkan, tagihan tersebut sangat tidak masuk akal dan cara menghitungnya sangat bermasalah.
“Kalau wajar saya nggak ada di sini. Makanya kita lawan. Kita tolak, minta dicabut,” tandas Surya.
Dia juga mempersoalkan adanya stimulus, diskon, dan iming-iming lainnya yang disosialisasikan oleh Pemerintah Kota Cirebon. Baginya, itu adalah pembodohan kepada rakyat.
“Itu cara menghitungnya nggak betul, tidak transparan. Pembodohan. Rakyat diiming-imingi diskon dan sebagainya,” sebut dia.
Untuk diketahui, Pemerintah Kota Cirebon telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu isi dalam Perda tersebut, yakni soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dirasa memberatkan masyarakat dan juga pelaku usaha yang ada di Kota Cirebon.
(Fetra Hariandja)