Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Golkar itu juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.
“Kami ingin agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Justru sistem yang sederhana dan jelas akan membuat mereka lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya,” jelasnya.
Sementara itu, Piyu, yang juga gitaris grup musik Padi Reborn, menyampaikan perlunya revisi Undang-Undang Hak Cipta agar perlindungan hukum bagi pencipta musik lebih nyata. Ia menekankan bahwa royalti konser seharusnya dibayarkan sebelum acara dimulai.
“Tanpa lagu, tidak ada konser. Royalti bukan sekadar beban promotor, tapi tanggung jawab bersama artis, manajemen, dan penyelenggara untuk memastikan hak ekonomi pencipta terpenuhi,” ujar Piyu.
Piyu mewakili AKSI menawarkan skema Hybrid System, yakni kombinasi blanket license (untuk media penyiaran, kafe, hotel) dengan direct license (untuk konser). Menurutnya, pola ini sudah lazim diterapkan secara internasional dan lebih adil bagi pencipta musik.
“Soal tarif, AKSI menilai skema 2 persen dari penjualan tiket selama ini tidak efektif. Kami mengusulkan alternatif, yakni 10 persen dari honorarium artis (pro rata per lagu) atau 2 persen dari median harga tiket dikalikan kapasitas venue (pro rata per lagu). Untuk acara non-tiket seperti pernikahan, opsi tarif yang diusulkan adalah 10 persen dari honorarium artis atau band,” jelasnya.
Selain tarif, Piyu juga menekankan pentingnya aturan jelas terkait hak moral pencipta, digitalisasi sistem penarikan royalti berbasis langganan, serta pengawasan terhadap pembajakan digital dan penggunaan kecerdasan buatan (AI).
“Negara wajib memberi perlindungan nyata, bukan sekadar retorika. Kreativitas harus berjalan seiring kepastian hukum,” ungkapnya.
(Fetra Hariandja)