Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Komisi II DPR Soroti Gerakan Seribu per Hari Gubernur Jabar

Awaludin , Jurnalis-Kamis, 09 Oktober 2025 |00:26 WIB
Komisi II DPR Soroti Gerakan Seribu per Hari Gubernur Jabar
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin menyoroti kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang meminta donasi Rp1.000 per hari kepada warganya. 

Meski kebijakan tersebut sah secara hukum, Khozin menilai mekanisme penggalangan dana sebaiknya dikembalikan kepada masyarakat agar lebih transparan, partisipatif, dan tidak menimbulkan resistensi publik.

Khozin menjelaskan, dasar hukum penggalangan dana oleh pemerintah daerah tercantum dalam sejumlah regulasi, seperti Pasal 36 UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Pasal 75 PP Nomor 29 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

“Secara normatif, tidak ada soal. Meski ketentuan ini jarang dilakukan oleh pemerintah dalam menggalang dana untuk kepentingan kesejahteraan sosial,” kata Khozin, Rabu (8/10/2025).

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau yang akrab disapa KDM, menggagas kebijakan donasi Rp1.000 per hari untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov Jabar. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jabar Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu), yang diinisiasi untuk mewujudkan konsep warga bantu warga.

 

Melalui program ini, RT dan RW setempat diproyeksikan memiliki kas yang bisa digunakan membantu warga sekitar — misalnya untuk biaya transportasi ke rumah sakit bagi warga yang membutuhkan.

Kebijakan yang mengusung semangat gotong royong tersebut mengadopsi program rereongan jimpitan atau rereongan sekepal beras yang pernah diterapkan Dedi Mulyadi saat menjabat Bupati Purwakarta. Program itu disebut berhasil, di mana Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta setiap bulan menyalurkan beberapa ton beras ke sejumlah kampung.

Untuk tingkat sekolah, Gubernur Dedi menegaskan bahwa kebijakan ini bukan pungutan sekolah. Anak-anak hanya diarahkan menyisihkan donasi harian melalui bendahara kelas. Dana yang terkumpul nantinya digunakan untuk membantu teman sekelas yang sakit atau membutuhkan bantuan.

Namun, Khozin menilai pemerintah daerah sebaiknya lebih berperan sebagai fasilitator gerakan sosial, bukan sebagai pihak yang secara langsung memungut atau mengelola dana masyarakat.

“Prinsipnya, inisiatif penggalangan dana seharusnya muncul dari masyarakat, bukan dari pemerintah,” tegas Khozin.

 

Menurut Legislator dari Dapil Jawa Timur IV itu, pendekatan partisipatif lebih sesuai dengan semangat otonomi daerah dan tata kelola pemerintahan yang akuntabel. Selain mencegah kesalahpahaman publik, cara tersebut juga memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap kegiatan sosial di lingkungannya.

“Inisiatif dari masyarakat lebih baik ditingkatkan dengan memfasilitasi dan berkolaborasi bersama pemerintah daerah,” jelasnya.

Khozin juga mengusulkan agar Surat Edaran Gubernur Jabar tersebut ditinjau ulang di tengah meningkatnya resistensi publik. Meskipun legal, ia menilai dari aspek sosiologis kebijakan itu kurang tepat.

“Sebaiknya penggalangan dana dilakukan oleh pihak di luar pemerintah, dengan tetap berpedoman pada aturan penggalangan, distribusi, dan pelaporan yang jelas,” ungkap Khozin.

Khozin menambahkan, inisiatif yang tumbuh secara organik dari masyarakat justru lebih efektif. Apalagi, Indonesia sejak 2017 hingga 2024 menempati peringkat pertama dunia dalam Indeks Kedermawanan Global (World Giving Index) versi Charities Aid Foundation (CAF).

“Masyarakat Indonesia paling dermawan di dunia. Biarkan gerakan sosial tumbuh dari bawah, sementara negara cukup memfasilitasi dan membuat regulasi agar semangat gotong royong ini tersalurkan dengan baik,” pungkasnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement