Untuk menjawab persoalan tersebut, Indonesia mengajukan arsitektur baru tata kelola royalti global melalui tiga pilar utama:
- Standardisasi metadata fonogram dan audiovisual secara global.
- Kewajiban transparansi lisensi, penggunaan, dan distribusi royalti lintas negara.
- Pembentukan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas global melalui audit internasional.
Ketiga pilar ini dirancang agar tidak ada lagi karya yang “hilang” dari sistem dan setiap pemanfaatan karya tercatat secara akurat serta memiliki nilai ekonomi yang jelas.
Indonesia menegaskan, instrumen yang digunakan harus bersifat mengikat. Pendekatan soft law tidak cukup untuk mengatasi ketimpangan relasi kekuasaan antara negara dan platform digital raksasa. Instrumen mengikat diperlukan untuk menjamin konsistensi lintas negara sekaligus memperkuat posisi hukum negara berkembang.
“Tanpa kewajiban hukum dan sanksi yang tegas, transparansi hanya akan menjadi komitmen moral yang tidak memiliki daya paksa,” kata Supratman.