JAKARTA- Direktur Utama PT Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo meminta agar Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut berhenti bermanuver memojokkan pribadi dan organisasi yang dipimpin dalam menyelesaikan kasus kepemilikan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
“Tidak perlulah dengan melakukan dan membuat manuver dengan memojokan saya atau memojokan organisasi hanya untuk supaya tujuanya bisa tercapai, tapi dengan cara yang sepihak,” kata Hary Tanoesoedibjo kepada sejumlah wartawan di Gedung MNC Tower, Jakarta, kemarin.
Saat memberikan keterangan, Hary Tanoesoedibjo didampingi Kuasa Hukum TPI Hotman Paris Hutapea dan Andi Simangunsong. Selain keduanya, Direktur Utama TPI Sang Nyoman Suwisma beserta sejumlah direksi juga turut hadir.
Dalam keteranganya, Hary meminta agar putri sulung mantan Presiden Soeharto tersebut bersedia duduk bersama untuk membicarakan dengan baik persoalan yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait gugatan kepemilikan TPI. Dengan begitu, penyelesaian yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik.
Menurut dia, persoalan yang terus bergulir tersebut hanya bisa diselesaikan dengan komunikasi yang intensif. Tanpa itu, persoalan yang sudah bertahun-tahun tersebut hanya akan menjadi benang kusut tanpa penyelesaian.
“Saya dengan kerendahan hati mohon, Tutut mau bertemu dengan saya, saya sudah menantikan selama 5 tahun. Didampingi oleh siapapun tidak masalah tapi jangan sampai tidak hadir. Satu masalah hanya bisa diselesaikan dengan komunikasi. Kita buka-bukaan. Masalahnya dimana, kita bicarakan dan pastinya akan terajdi konpromi,” kata dia.
Hary juga menyatakan sangat menyesal dengan kejadian yang tidak seharusnya terjadi. Sebab, kata dia, iktikat baik membantu persoalan TPI yang saat itu sedang terlilit hutang pada sejumlah pihak justru berujung perseteruan. “Coba bayangkan kalau saat itu Tutut tidak dibantu menyelesaikan kewajibannya, negara akan rugi dan implikasinya banyak sekali pada pemerintah dan swasta,” tuturnya.
Diakuinya, sejak 2005 saat Tutut berambisi mengambil kembali asset TPI dari PT Berkah Karya Bersama, dirinya mengaku sudah tidak pernah bertemu kembali. Kendati sudah mencoba dengan berbagai cara agar bisa bertemu guna menyelesaikan persoalan yang terjadi, tapi tidak pernah terlaksana.
Pemimpin Umum Harian Seputar Indonesia ini khawatir ada benang kusut dan pihak-pihak yang mencoba bermain sehingga persoalan yang dihadapi menjadi semakin keruh. Sayangnya, upaya untuk duduk bersama selalu kandas karena tidak ada respons positif dari pihak Tutut.
“Ada larat belakang apa dalam persoalan ini, apa karena berambisi mengambil alih perusahaan ini, apa karena ada ambisi politik, kan bisa saja. Itu semua akan tahu kalau sudah bertemu dan terbuka. Atau menyelesaikannya dengan mekanise lain, tapi selalu buntu,” ungkapnya.
Hary mengakui, apa yang disampaikan pihak pemegang saham lama sangat tidak sejalan karena terkesan kepemilikan MNC di TPI tidak sah. Alasan itu, dirinya ingin mencoba meluruskan persoalan sesungguhnya terkait latarr belakang MNC mengausai sebagian besar saham TPI.
Diakuinya, pada 2002, Tutut memiliki hutang yang sangat besar baik secara pribadi maupun secara organisasi melalui TPI. Secara pribadi, tutur Hary, hutang-hutangnya itu disebabkan karena ditutupnya Bank Yama (Yakin Makmur) milik Tutut. Dengan ditutupnya bank tersebut, Tutut secara otomatis memiliki kewajiban secara pribadi untuk menyelesaikan itu.
Selain itu, Tutut juga memiliki kewajiban pajak yang tidak pernah dibayar, sementara posisi TPI sudah sita jamin karena tiadak pernah dibayar. Tidak hanya itu, lanjut dia, TPI juga memiliki hutang yang sangat besar terhadap Indosat atas konfortable bond obligasi konfersi. “Jumlahnya sanga besar, bunga dan pokok lebih dari Rp300 miliar. Dimana Indosat saat itu masih dalam bentuk BUMN,” kata dia.
TPI juga memiliki hutang pada BPPN yang cukup besar, termasuk pada supplier baik supplier program maupun alat-alat yang tidak dibayar dan hutang pribadi atas hutang Bank Yama yang ditutup.
Atas semua persoalan itu, terang dia, dilakukanlah kesepakatan dengan Tutut untuk melunasi seluruh hutang-hutang tersebut. Kompensasinya, akan diberikan saham TPI sebesar 75 persen. “Karena saat itu tidak jelas besarnya hutang TPI dan dimana saja.
Akhirnya diputuskan, bahwa transaksi yang dilakukan diberi limit jumlah USD55 juta maksimum. Kalau jumlah penyelesainya lebih dari itu maka sisanya ditanggung oleh tutut secara pribadi,” terangnya.
Atas kesepaktan tersebut, akhirnya seluruh kewajiban Tutut dapat diselesaikan dengan baik dan lancar kepada seluruh pihak. “Itulah kenapa Mbak Tutut tidak punya hutang lagi kepada semua pihak. TPI menjadi sehat kembali,” kata dia.
Namun kemudian, aku dia, persoalan kembali terjadi pada Desember 2004. Tutut mengirimkan surat dan mengucapkan terima kasih kepada PT berkah Karya Bersama karena telah membantu menyelesaikan kewajiban-kewajibanya. Namun, Tutut dalam paragraph terakhir juga meminta kepada PT Berkah agar TPI dikembalikan kepada pemegang saham sebelumnya, yakni Tutut.
“Ini tidak sesuai dengan perjanjian. Itu tidak semudah itu. Masuknya MNC sebagai pemegang saham di TPI merupakan satu proses yang awalnya, dengan menyelesaikan kewajiban-kewajiban tadi sebanyak USD55 juta, dan itu bukan jumlah yang kecil,” paparnya.
Kuasa Hukum TPI Hotman Paris Hutapea menyesalkan langkah yang diambil Putri sulung Presiden Soeharto tersebut. Mengingat, Tutut sudah menikmati harga saham yang dikeluarkan kliennya, tapi barang justru tidak direlakan untuk diambil alih. “Ibaratnya, barang sudah dijual, uang sudah dikantongi tapi barang tidak boleh diambil,” terang Hotman.
Menurut Hotman, seluruh kewajiban utang TPI termasuk pajak-pajaknya sudah dilunasi pihak PT berkah. Buktinya, adanya surat tertulis yang diakui Tutut dan kuasa hukumnya, Denny Kailimang pada 8 Maret 2010 di PN Jakarta Pusat. Intinya, Tutut mengakui kepemilikan 75 persen saham oleh PT Berkah di TPI.
Ini merupakan satu bukti, Tutut mengakui keabsahan RUPSLB 18 Maret 2005 yang telah disetujui oleh Menkumham pada saat itu. “Sangat tidak masuk akal kalau sekarang Mbak Tutut menuntut 75 persen saham tersebut dan menuntut pembatalan RUPSLB 18 Maret 2005,” tegas dia.
Hotman juga menyoroti Oknum Plh Direktur Perdata Kemenkumham yang telah bertindak diluar koridor hukum dengan menyatakan suatu substandi RUPS tidak sah. Mengingat oknum tersebut atau bahkan Menkumham sekalipun tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu RUPS atau kepemilikan saham karena merupakan kewenangan pengadilan.
“Sengketa ini kan sedang berjalan di PN Jakarta Pusat, baru sidang satu kali. Kenapa
oknum direktur perdata Kemenkumham sudah mengirimkan surat yang mendahului putusan pengadilan. Ini kan menghina pengadilan atau contempt of court,” terangnya.
Kuasa Hukum TPI lainnya, Andi Simangunsong menyatakan, MNC sudah mengirimkan surat ke Kemenkumham terkait surat pencabutan pencatatan PT Berkah sebagai pemilik saham TPI pada 2005. Sebab, hal itu sangat merugikan pihak MNC selaku pemilik saham 75 persen TPI.
“Makanya kami memperanyakan kepada kemenkumham. Apalagi surat yang beredar hanya foto kopi yang ditandatangani oleh oknum Plh direktur perdata Kemenkumham yang intinya seolah-olah menyatakan ada pencabutan kepemilikan PT Berkah sebagai pihak pemilik TPI pada 2005,” pintanya.
Jika pencabutan itu benar, pihaknya minta agar Menkumham mempertimbangkan kembali keputusan tersebut. Sebab, keputusa tersebut bertentangan dengan kepastian hokum karena MNC pemilik saham TPI dan MNC tidak pernah dilibatkan dalam sengketa keduanya.
(Muhammad Saifullah )