JAKARTA- Aksi unjuk rasa yang dilakukan sekelompok orang baik itu organisasi masyarakat, LSM, maupun mahasiswa kerap berpotensi rusuh.
Kedua pihak, baik demonstran maupun aparat kepolisian dituntut saling terbuka dalam mengakui perbuatannya bila terjadi perilaku kekerasan dalam aksi tersebut.
“Dari sudut pelaku gerakan itu pasti mengaku kalau saya tidak melakukan anarki begitu juga polisi. Ini yang kemudian dipertanyakan pengakuannya. Menurut saya alangkah lebih baik kedua belah pihak ini harus saling jujur apakah kegiatan aksi mengganggu atau tidak,” ujar anggota Kompolnas Novel Ali saat berbincang dengan okezone di Jakarta, Jumat (24/12/2010).
Dia menambahkan, apapun segala tindak anarkisme yang mengancam keselamatan dan keamanan orang lain tentu tidak dibenarkan. Perlu adanya dilakukan tindakan untuk mencegah meluasnya aksi.
“Polisi mempunyai hak untuk mencegah segala tindakan yang berpotensi berbuntut anarki, atau yang sifatnya mengganggu ketertiban umum. Namun, tindakan itu tidak boleh dilakukan kecuali bila memang ada aksi anarki yang memang sudah diyakini akan terjadi chaos di situ,” jelas Novel.
Seperti diketahui, usai demo yang dilakukan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Ciputat pada Kamis 23 Desember kemarin, sesaat setelah Wapres Boediono meninggalkan Kampus UIN, ratusan polisi langsung beringas. Mereka masuk ke dalam areal kampus dan melakukan sweeping terhadap para mahasiswa.
Lebih dari 10 mahasiswa ditangkap oleh polisi. Arogansi aparat ini kemudian menuai protes dari pihak kampus. Polisi dinilai cenderung bersikap represif tanpa mengedepankan upaya komunikasi persuasif dalam mengamankan aksi mahasiswa.
(Lusi Catur Mahgriefie)