Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Terkesan Buru-buru, PMK 191 Perlu Ditinjau Ulang

Bagus Santosa , Jurnalis-Selasa, 07 Agustus 2012 |06:01 WIB
Terkesan Buru-buru, PMK 191 Perlu Ditinjau Ulang
Ilustrasi
A
A
A

JAKARTA -  Kurangnya komunikasi dan sosialisaasi dari pemerintah, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab tidak berjalannya sebuah kebijakan dengan baik, termasuk kebijakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 191.04/2011 tentang cukai rokok. Bahkan, PMK ini terkesan terburu-buru dalam pelaksanaannya.

"Kementerian keuangan seharusnya sosialisasi dengan pemerintah daerah untuk sosialisasi sebelum diberlakukan peraturan tersebut”, ujar Pengamat Kebijakan Publik Adrinof Chaniago, di Jakarta.

Adrinof mengatakan, banyak kebijakan menteri yang tidak dipertimbangkan kelayakannya sehingga muncul kontradiksi, baik dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan, mengenai kondisi lapangan, komunikasi dan persoalan urgensi dari kebijakan tersebut.

"PMK 191.04/2010, sejak dua tahun lalu dikeluarkan tetapi juklak (petunjuk pelaksanaan)-nya baru terbit bulan Juni 2012 oleh Dirjen Bea Cukai, ini bisa jadi akibat kejar target untuk realisasi anggaran dan perhitungan lainnya", tegasnya.
 
Seharusnya, lanjut Adrinof, para pihak terkait diajak berkomunikasi agar diketahui kelebihan dan keunggulan PMK yang dikeluarkan itu. "Untuk PMK 191.04/2010 misalnya, sebaiknya para pelaku industri di bidang tembakau bisa diajak bicara, karena menyangkut industri dan lapangan kerja”, lanjutnya.

Dia juga mengatakan, kebijakan pemerintah seharusnya bisa memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan usaha dan berpenghidupan, serta dapat pula menciptakan iklim usaha dan lapangan pekerjaan yang kondusif. Bukan malah berpotensi meresahkan bahkan mengancam kehidupan usaha.

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Malang (GAPEROMA), Johny SH, mengatakan sebagai  pelaku dunia usaha PMK 191.04/2010 ini lahir dengan kesan buru-buru dan terkesan tanpa adanya sosialisasi.

"Keluarnya PMK 191.04/2010 ini terkesan terburu-buru dan tanpa adanya sosialisasi yang baik terhadap para stakeholders maupun asosiasi dari industri rokok yang terkait", kata dia.

Dia mengatakan, kesan terburu buru ini tercermin dengan ketidaksiapan akan adanya Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) maupun Juknis (Petunjuk Teknis) yang baru diterbitkan setelah 18 bulan peraturan ini dikeluarkan. 

Sesuai dengan amanat PMK 191 perusahaan rokok yang memiliki hubungan istimewa (terkait kepemilikan), berimplikasi cukup berat dan membutuhkan waktu yang panjang dan energi yang besar.

Konsolidasi perusahaan rokok dengan tingkat produksi kecil, dimaksudkan untuk peningkatan jenis cukai dari tier rendah ke tier yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar penerimaan cukai menjadi lebih besar, yang tentunya berdampak pada harga rokok. Dan Hal ini berpotensi akan mematikan pabrik rokok yang tidak mampu bersaing dan pada akhirnya akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja.

Karena itu, Johny SH, menilai perlu ada tinjauan ulang untuk PMK ini. Pasalnya dia menilai, PMK 191 ini tidak berdampak positif bagi industri dan masyarakat, maka harus dibatalkan.

"Namun, jika memang PMK 191 masih berpotensi dalam menaikan pendapatan negara tanpa merugikan masyarakat, khususnya pekerja dan usaha kecil rokok, maka perlu ditunda penerapannya agar industri, agar industri rokok nasional dapat menyesuaikan dan mempersiapkan diri," tegas Johny.

(Risna Nur Rahayu)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement