JAKARTA - Pemilu baru akan berlangsung pada 2014. Meski masih menyisakan waktu sekira 1,5 tahun, para politikus mulai bisa mengintensifkan komunikasi politik dengan konstituen di daerah.
Pengamat Politik Universitas Nasional, Alfan Alfian mengatakan, komunikasi politik calong anggota legislatif dengan calon pemilih bisa dilakukan dengan cara pendekatan program atau pendekatan bersifat karismartik.
"Kalau pendekatan program bisa dengan pemberdayaan memberikan modal, datang ke suatu tempat memberikan sumbangan untuk membangun jalan atau masjid," kata Alfan kepada Okezone, Minggu (27/1/2013) malam.
Sementara, dengan pendekatan bersifat karisma, calon anggota legislatif bisa menujukkan dirinya punya kapabilitas dan kapasitas. "Karisma ini dalam artian modern menunjukkan kepada pemilih bahwa caleg memiliki kemampuan dan dapat dipercayaan sehingga publik bisa percaya. Kalau bersifat tradisional akan muncul yang tidak rasional," cetusnya.
Sayangnya, ketika caleg dituntut menampilkan dua cara tersebut yakni program dan karisma, calon pemilih malah menjebak dengan melihat apa yang bisa diberikan oleh caleg saat itu juga. Sifat masyarakat seperti ini akan memancing caleg untuk melakukan praktek politik transaksional.
"Masyarakat kita dalam berpolitik belum berubah secara signifikan. Pragmatisme dan politik transaksional masih berurat dan berakar di era reformasi ini. Saya khawatir ini yang akan mendominasi pada Pemilu nanti," ungkapnya.
Dengan begitu, caleg akan berpikir tidak perlu menawarkan program kepada calon pemilih. Caleg cukup datang ke daerah pemilihan kemudian memberikan sumbangan, selesai. "Secara umum, uang masih di atas segalanya. Ke dua baru strategi pemenangan dengan program," tegasnya.
Politik transaksional, tambahnya, akan sulit dihapus dari perpolitikan nasional. Satu-satunya cara untuk menghentikannya yakni dengan mensejahterakan masyarakat. Kesejahteraan bisa menimbulkan kesadaran masyarakat dalam berpolitik.
Hal itu, kata dia, merujuk pada dalil demokrasi yang bisa berdiri dengan mensejahterakan masyarakat terlebih dulu. "Selama kesejahteraan masih banyak yang pas-pasan dan di bawah garis kemiskinan maka pola transaksional tetap yang utama," terangnya.
Kapan masyarakat bisa sejahtera?, menurut Alfan, sampai masyarakat betul-betul menemukan pemimpin yang mampu mengurus negara tanpa missmanagement. "Persoalan ini (kesejahteraan) bisa diatasi seberapa cepat kita menemukan pemimpin yang bisa membangun bangsa," pungkasnya.
(Tri Kurniawan)