JAKARTA - Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan praktik aborsi untuk korban perkosaan tidak sepenuhnya dibenarkan. Pernyataan itu dilontarkan menyusul adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang melegalkan aborsi untuk korban pemerkosaan.
"Itu bisa menjadi persoalan dan perlu diskusi melibatkan seluruh komponen bangsa. Saya kira cara-cara melegalkan aborsi akan berbahaya bagi kehidupan," kata Sutarman kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/7/2014).
Menurut dia, aborsi boleh dilakukan untuk menyelamatkan diri seorang wanita saat mengalami gangguan kesehatan ketika hamil.
"Kalau tidak dilakukan ibu yang hamil bisa meninggal atau bayinya meninggal," sambungnya.
Namun, kalau korban pemerkosaan kemudian diperbolehkan aborsi juga tidak sepenuhnya benar.
"Kalau untuk tujuan itu, tidak benar. Apalagi abosrsi legal untuk hasil hubungan gelap. Kalau korban perkosaan supaya belum menjadi (janin) di cek ke dokter mungkin akan ditindak lanjuti tidak sampai aborsi," tuntasnya.
Sebelumnya, PP tentang Reproduksi Kesehatan tersebut merupakan pelaksanaan dari UU 36/2009 tentang Kesehatan. PP 61/2014 yang ditandatangani pada 21 Juli 2014 tersebut mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan sesuai UU 36/2009 pasal 75 ayat 1.
Pasal tersebut menyatakan, larangan aborsi kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.
(Carolina Christina)