Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

China dan Filipina Tak Bisa Asal Klaim Kawasan Maritim

Silviana Dharma , Jurnalis-Senin, 22 Agustus 2016 |14:05 WIB
China dan Filipina Tak Bisa Asal Klaim Kawasan Maritim
Simposium Internasional Asia 2016 tentang isu-isu maritim dunia. (Foto: Silviana D/Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Hukum laut internasional saat ini sering salah kaprah karena kebanyakan negara masih memakai acuan peta yang sudah kuno. Padahal sekarang dunia sudah banyak berubah secara geografis.

Selain itu, kata Sekretaris Direktur Jenderal Perjanjian dan Hukum Internasional dari Kementerian Luar Negeri RI, Damos Dumoli Agusman, sejak 10 Desember 1982, dan diperbaharui pada 1994, diberlakukan sebuah aturan internasional yang kita kenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini memberikan batasan kedaulatan semua negara sampai 200 mil saja dari garis pantai terluar negaranya.

Akan tetapi, ujar Agusman, apa yang terjadi di Laut China Selatan sekarang ini merupakan interpretasi usang. Negara yang terlibat, yaitu China dan Filipina, tidak mau mengakui hukum internasional yang mereka tandatangani sendiri bersama 167 negara lainnya.

"Padahal itu (nine dash lines) adalah batas dari era dinasti yang sudah runtuh. Sama seperti halnya Indonesia, tidak mungkin kan kita memakai acuan peta dari zaman kerajaan Sriwijaya atau majapahit sebagai batas kemaritiman kita sekarang," ujarnya dalam Simposium Internasional Asia bertajuk 'Isu Keamanan Maritim Kontemporer di kawasan Asia: Tantangan dan Peluang untuk Perdamaian, Stabilitas dan Keberlangsungannya' di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Senin (22/8/2016).

Agus menegaskan, peran UNCLOS harus kembali ditegakkan. Sebab UNCLOS memang merupakan satu-satunya acuan negara-negara di mana pun untuk menetapkan batas kedaulatan lautnya, termasuk dalam konflik Laut China Selatan.

Selain konflik Laut China Selatan, sejumlah isu kemaritiman lain dibahas dalam simposium internasional yang digelar oleh Pusat Studi Asia Tenggara (CSEAS). Selain perwakilan dari Kemlu RI, turut hadir pakar dari Centre of International Law NUS, Singapura, Profesor Robert Beckman yang sekaligus menjadi moderator sesi pertama. Didampingi dua pembicara lain, yakni Profesor Hamamoto Shotaro dari Universitas Kyoto, Jepang dan Hakim Park Jin Hyuk dari International Tribunal for the Law of The Sea (ITLOS).

Sesi 1 membahas soal Peran UNCLOS dalam menyelesaikan sengketa rezim pendudukan. Profesor Hamamoto banyak menjelaskan soal pentingnya Hukum Laut Internasional untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia terutama terkait Arbitrase antara Filipina dan China. Sementara Hakim Park menekankan legalitas peran khusus institusinya dalam menegakkan UNCLOS.

(Rifa Nadia Nurfuadah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement