SLEMAN - Guru besar Ilmu Budaya UGM Heddy Shri Ahimsa Putra menyatakan adanya perbedaan interpretasi antara monarki dan bukan monarki, merupakan persoalan politik. Namun ada hal yang tidak boleh dilupakan dalam masyarakat Yogyakarta tentang keraton Yogyakarta. Bahwa keraton adalah simbol budaya.
Persoalan yang saat ini muncul karena tidak melihat sejarah keraton. Selain itu juga karena kurang memahami sejarah keraton dengan NKRI, di samping juga karena tidak dipahaminya bahwa keraton adalah bagian dari identitas yang namanya Yogyakarta.
“Masalahnya jadi sangat serius karena kekurangtahuan, kekurangsensitifan dalam hal ini Bapak Presiden terhadap hubungan antara keraton sebagai simbol budaya dengan masyarakat Yogyakarta yang memiliki simbol tersebut,” terang Heddy di UGM, Yogyakarta, Selasa (30/11/2010).
Menurut Heddy, simbol tersebut sebenarnya secara kualitatif tidak bisa diukur namun secara emosional artinya sangat besar. Dicontohkan Heddy, keraton sebagai simbol masyarakat Yogyakarta seperti hubungan antara merah putih dengan Indonesia, sumpah pemuda dengan Indonesia, atau simbol yang sangat diagungkan dalam tradisi masyarakat itu sendiri.
Heddy menjelaskan, jika ada yang mengusik simbol tersebut masyarakat akan jadi sangat emosional. Jika dipaksakan akan marah dan bentuknya macam-macam. Menurut Heddy ada dua kemungkinan, yaitu berontak, demo, atau “mbalelo” dalam arti tidak mau taat pada apapun.
Persoalannya sekarang, bagaimana menyampaikan kepada SBY bahwa ini bukan persoalan politik semata, bukan hanya persoalan monarki dengan Republik. Karena ini adalah identitas budaya. Apakah SBY bisa menerima ini sebagai bagian identitas budaya?
“Tari pendet diambil Malaysia sudah banyak yang teriak. Lha ini persoalan sistem itu lebih gawat lagi, efeknya lebih gawat lagi. Sebaiknya melihat dari kacamata tradisi dan jangan hanya memandang dengan kacamata politik. Itu akan merepotkan orang," terangnya.
(M Budi Santosa)