CANBERRA - Perempuan yang datang ke Australia dengan status sebagai imigran, kerap dijadikan budak. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak mencari perhatian atau bahkan tidak sadar sedang dieksploitasi.
Laporan ini dikeluarkan oleh The Australian Institute of Criminology (AIC), yang memeriksa keterangan perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia dan terjebak dengan rekan hidup mereka selama proses imigrasi berlangsung.
Menurut AIC, sebagian besar dari korban adalah perempuan yang bertemu dengan pasangan mereka di luar Negeri Kanguru dan kemudian bermigrasi ke Australia. AIC sempat melakukan wawancara mendalam dengan delapan dari perempuan yang terlibat kekerasan seksual dan jatuh dalam jurang perbudakan.
"Laporan menyebutkan bahwa sebagian besar dari perempuan ini takut untuk melaporkan kejadian yang mereka alami. Mereka khawatir akan dimintai sejumlah uang dan tidak mempercayai pihak berwenang, serta tidak mengetahui bahwa ada lembaga yang bisa membantu mereka keluar dari perbudakan," tulis AIC dalam laporannya, seperti dikutip ABC Australia, Selasa (4/2/2014).
"Isolasi sosial dan memiliki pemahaman terbatas atas budaya serta hukum di Australia, juga menjadi alasan perempuan ini tetap bertahan dalam perbudakan," lanjut laporan tersebut.
Peneliti dari AIC, Samantha Lyneham mengatakan, kasus semacam ini biasa diidentifikasi sebagai kekerasan domestik. Lyneham mendesak agar pihak berwenang dan petugas sosial untuk meningkatkan kewaspadaan.
Salah satu hal yang paling penting dalam masalah ini adalah, penguasaan bahasa Inggris dari para korban. Berdasarkan pengalamam Lyneham, banyak dari perempuan tersebut tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris dan mereka menilai apa yang dialami adalah sebagai tindakan eksploitasi.
(Fajar Nugraha)