Ujang: Apa Maday? Gak Ngerti

Didin Jalaludin, Jurnalis
Kamis 01 Mei 2014 18:46 WIB
Share :

PURWAKARTA - 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional, bahkan mulai tahun ini tanggal 1 Mei dijadikan hari libur Nasional bagi bangsa Indonesia sebagai wujud apresiasi terhadap perjuangan kaum buruh.
 
Namun, hal tersebut tidak dirasakan bagi ratusan buruh pabrik genteng dan bata merah di Purwakarta. Terutama bagi Ujang (14). Remaja yang seharusnya duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) tersebut bersama teman-teman seusianya Kamis 1 Mei hari ini masih harus tetap kerja sebagai buruh di salah satu pabrik yang memproduksi loster dan bata merah di Desa Pamoyanan, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
 
Saat ditanya mengenai may day, Ujang hanya tersenyum, sorotan matanya yang kosong mengisyaratkan ketidaktahuannya mengenai istilah hari buruh tersebut. Dirinya hanya tahu harus tetap kerja untuk mendapatkan uang demi membantu mencukupi kebutuhan keluarganya.
 
“Apa, Maday? Tidak tahu, saya tahunya kerja terus biar dapat uang buat makan sehari-hari dan buat kebutuhan lain kang,” jawab Ujang, warga Desa Ciroyom, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat ini.
 
Tak hanya Ujang, remaja yang menjadi buruh di pabrik kerajinan tanah liat tersebut. Beberapa teman seprofesinya terpaksa harus menjadi pekerja di usianya yang masih belia. Usia mereka rata-rata sekitar 13-16 tahun. Selain dari Kabupaten Bandung Barat banyak juga dari mereka yang berasal tuan rumah dari Kabupaten Purwakarta. Jumlah remaja yang harusnya duduk dibangku sekolah ini tak terhitung dengan jari. 
 
Sementara, Ujang mengaku masih ingin sekolah, tapi karena dirinya berasal dari keluarga yang kurang mampu, kedua orang tuanya tak mampu untuk membiayai sekolah. Ujang terpaksa harus puas menyelsaikan pendidikannya hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD).
 
“Sekolah, ya pasti saya masih ingin. Tapi boro-boro untuk biaya sekolah untuk sehari-hari saja susah. Untuk itu saya mending kerja saja biar tidak jadi beban orang tua terus,”imbuh Ujang.
 
Dia mengaku sudah satu tahun lebih menjadi buruh pabrik loster dan bata merah dengan upah Rp18.000/hari. Dirinya harus tetap mempertahankan pekerjaan tersebut karena tidak ada pekerjaan lain yang mampu dikerjakan di usianya yang masih tergolong anak-anak.
 
Selain itu, Ujang dan teman seusianya mengaku merasa tertolong dengan bekerja di pabrik pengrajin anah liat. Bagi mereka keberadaan pabrik-pabrik di daerah Kecamatan Plered dan Tegalwaru yang menjadi centra pengolahan tanah liat sudah dianggap sebagai dewa penolong.
 
“Banyak banget yang kerja seperti saya, masih anak-anak dan putus sekolah. Dari pada di diam saja di rumah mending kerja di sini. Biar gaji kecil, tapi bagi saya itu sudah lumayan untuk mencukupi kebutuhan dan membantu keluarga,” timpal Kamal (16), teman Ujang yang saat itu tengah sibuk membuat loster.
 
Sementara itu, Kusnadi (45), salah satu mandor di Pabrik Loster dan Bata Merah tersebut membenarkan banyak pekerja yang masih di bawah umur. Namun pihaknya tak bisa berbuat banyak, apalagi melarang atau memberhentikan mereka untuk bekerja. Tuntutan ekonomi menjadi alasan sehingga perusahaan tak bisa melarang anak di bawah umur untuk ikut bekerja.
 
“Ya mau gimana lagi, anak-anak itu sudah tidak sekolah. Mereka ingin bekerja. Tidak diterima kasihan diterima juga kasihan. Keberadaan mereka ini jelas bukan kami yang disalahkan, pemerintah yang harus disalahkan. Betul kan? Dengan bekerja di sini mereka jadi merasa terbantu katanya," jelas Kusnadi.
 
Disinggung soal hari buruh, Kusnadi pun mengaku tidak tahu. "Saya juga gak ngerti, buruh yang mana yang diperjuangkan hak-haknya itu, karena jika berbicara buruh kami juga buruh dan kebijakan itu tak kami rasakan," tutur dia.

(Muhammad Saifullah )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya