JAKARTA - Kendati sudah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) soal pemberian tunjangan down payment (DP) mobil pejabat negara, tapi tetap saja Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga saat ini jadi sasaran tembak para pengkritik.
Tapi sedianya bukan hanya Jokowi saja yang bisa dibilang tidak cermat atau bahkan kecele dan kecolongan soal kebijakan yang lebih dulu dirumuskan para anak buahnya. Dari era Presiden RI pertama, Soekarno juga pernah jadi korban penipuan.
Gara-gara staf protokoler Soekarno yang tak teliti, sang proklamator pernah ditipu Raja dan Ratu suku anak dalam Jambi gadungan. Para penipu mengaku sebagai Raja Idrud dan Ratu Markonah, hingga bahkan diliput berbagai media ketika diajak keliling Keraton Yogyakarta.
Mereka sebenarnya penarik becak dan pekerja seks komersial (PSK) yang akhirnya dibongkar tukang becak lain yang juga teman Raja Idrus gadungan.
Pun begitu di era Presiden kedua, Soeharto (EYD: Suharto). Akibat beberapa pejabat anak buahnya kurang teliti, Soeharto percaya begitu saja akan seorang Ibu bernama Cut Zahara Fona asal Aceh, yang mengaku punya bayi ‘ajaib’.
Bayi yang bisa bicara dan mengaji sejak dalam kandungan. Tapi hal itu segera terbongkar oleh Ibu Tien, ketika memintanya memeriksakan sang bayi ke RSCM. Ternyata, suara bayi ajaib yang mengaji itu berasal dari alat perekam.
Isu yang menyangkut pautkan Presiden B.J. Habibie sedikit lebih serius. Saat masih ‘panas-panasnya’ gelora reformasi, Habibie pernah tidak cermat dan teliti soal isu, di mana mantan Pangkostrad, Prabowo Subianto akhirnya dipecat.
Diceritakan pada 1998, Letjen Prabowo berdasarkan informasi dari Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, hendak bergerak ke Istana Negara dan dikatakan akan mengkudeta pemerintahan.
Jelas hal itu dijadikan dasar untuk Habibie, untuk memecat Prabowo lewat Surat Rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira.
Yang lebih memalukan terjadi di era Presiden ketiga K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Mendiang Gus Dur pernah ditipu tukang pijat pribadinya, Soewondo yang akhirnya melarikan dana Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik, senilai Rp35 miliar.
Yang hingga kini masih jadi tanda tanya besar dialami juga oleh penerus Gus Dur, Megawati Soekarnoputri. Anak kedua Soekarno itu kurang cermat soal keluarnya Inpres No.8/2002, terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Inpres itu sedianya bertujuan memberi jaminan kepastian pada para obligator yang mau bekerja sama dan sanksi yang tak kooperatif. Tapi sayangnya, Inpres itu disalahgunakan untuk menerbitkan SK lunas pada lima obligator. Negara pun merugi. Dari total Rp89,9 triliun, baru Rp27 triliun yang dikembalikan pada negara.
Yang terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah kurang cermat soal penunjukkan Jaksa Agung pengganti Hendarman Supandji.
Setelah menunjuk Jaksa Agung, SBY seharusnya melantik namun karena saran mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, dia pun menabrak beragai prosedur dan regulasi. Akibatnya, kebijakan tersebut menjadi blunder dan menuai kritikan.