Nada Sinis & Tersinggungnya Soedirman terhadap Perjanjian Roem-Roijen

Randy Wirayudha, Jurnalis
Kamis 07 Mei 2015 07:07 WIB
Panglima Besar Jenderal Soedirman (Foto: Randy/Sasmitaloka Pangsar Jenderal Soedirman)
Share :

SETELAH hampir sebulan lamanya perundingan Roem-Roijen bergulir, akhirnya sebuah perjanjian disepakati bersama antara perwakilan Indonesia dan Belanda, 7 Mei 66 tahun silam (1949).

Sebuah perjanjian yang jadi pijakan awal menuju Konferensi Meja Bundar, sebelum Indonesia akhirnya diakui Belanda pada Desember 1949 – bukan proklamasi 17 Agustus 1945.

Tapi bukan itu yang jadi titik focus pembahasan kali ini, pun begitu soal di balik perjanjian antara Mohammad Roem dan Herman van Roijen itu, melainkan soal tanggapan Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Soedirman, terkait hasil Perjanjian Roem-Roijen.

Soedirman tetap tak begitu percaya dan menanggapi sinis perjanjian yang ditandatangani 7 Mei 1949 itu, lantaran berpikir bahwa nantinya bisa saja Belanda melanggar lagi, seperti yang pernah terjadi pasca-Perjanjian Linggardjati dan Renville.

Belum lagi, alumnus pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA) itu juga mempertanyakan keabsahan Mohammad Roem sebagai perwakilan sah pemerintah.

Pasalnya, sejak Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948, pemerintah pusat melalui Presiden Soekarno memandatkan Menteri Pertahanan Sjafroeddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jadi, seharusnya Sjafroeddin-lah yang berhak disebut perwakilan sah Indonesia.

Satu lagi, Soedirman merasa tersinggung saat Mohammad Roem tidak menyebut TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk menghentikan gerilya, melainkan menyebut dengan kesatuan bersenjata. Dengan begitu sama saja dianggap yang bergerilya bukan TNI, melainkan gerombolan bersenjata.

Juga, sama saja bahwa Roem “mengiyakan” propaganda Belanda yang lantang menyebut TNI sudah hancur. Padahal Serangan Oemoem 1 Maret 1949 sebelumnya, merupakan upaya TNI untuk membuktikan diri pada dunia bahwa mereka masih ada.

Itu bukan pertama kali Soedirman dengan berat hati harus ikut apa kata pemerintah yang memprioritaskan diplomasi dengan Belanda.

Sebelumnya, Presiden Soekarno pernah menolak ikut diajak gerilya oleh Soedirman, ketika Belanda memulai agresi kedua dengan kode “Operatie Kraai”, 19 Desember 1948 dengan menyerbu landasan udara Maguwo, Yogyakarta. Dalam setengah hari, Ibu Kota pertama Indonesia itu direbut Belanda.

Dalam biografi Soekarno, “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, sang presiden menolak ajakan Soekarno dan memilih bertahan, lantas ditahan Belanda, ketimbang ikut gerilya yang ditakutkan, justru tetap ditangkap di pedalaman.

“Dirman, engkau seorang prajurit. Tempatmu di medan perang bersama pasukanmu. Tempatmu bukan pelarianku. Aku harus tinggal di sini dan mungkin bisa berunding untuk kita serta memimpin rakyat kita,” ungkap Soekarno dalam biografinya karya Cindy Adams.

Itu terakhir kali Soedirman bertemu Soekarno pada tahun 1948 dan baru bisa bersua lagi, 10 Juli 1949, pasca-Ibu Kota dikembalikan Belanda pada Republik Indonesia. Soedirman sempat ragu dan enggan memenuhi panggilan Soekarno, sekaligus keluar dari daerah gerilyanya di pedalaman.

Dengan berat hati dan lewat surat yang diantarkan Overste (Letkol) Soeharto, Soedirman akhirnya menjawab panggilan Soekarno. Dengan diusulkan Kolonel Tahi Bonar Simatupang, Soedirman diminta bertemu Soekarno lebih dulu, sebelum inspeksi barisan tentaranya di alun-alun Keraton Yogyakarta.

Pertemuan yang mengharukan, di mana Soedirman dengan mantel lusuhnya langsung disambut pelukan hangat Soekarno.

Seiring beranjaknya Soedirman setelah bertemu Soekarno dan Mohammad Hatta, pasangan “Dwi Tunggal” itu menitikkan air mata dengan ketaguhan Soedirman yang tak mau menyerah pada Belanda pada masa gerilya, meski diserang penyakit TBC.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya