JAKARTA – Angka 17 bagi muda-mudi selalu dikaitkan dengan hal indah, terutama jika sudah menyangkut perihal “Sweet Seventeen”. Tapi perayaan 17 tahun bukan hal yang indah dan justru ironis buat para keluarga korban tragedi Trisakti.
17 tahun sudah kasus penembakan para mahasiswa ini tak jua terusut tuntas. Dari sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti yang jadi sasaran terjangan timah panas, empat di antaranya harus tutup usia, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidin Royan dan Heri Hertanto.
Tragedi 12 Mei 1998 ini memang sudah tak terhitung jadi topik pembahasan. Tapi tak ada salahnya pula jika ingin mengingat lagi bagaimana rentang waktu berbagai kejadian yang muncul, sampai klimaks-nya terjadi penembakan mahasiswa di dalam kampus oleh aparat bersenjata.
Awalnya para mahasiswa Trisakti ingin ikut aksi sejumlah kolega lainnya untuk melakukan aksi ke Gedung MPR/DPR sejak sekira pukul 10.30 WIB. Situasi mulai “menghangat” ketika rombongan enam ribu demonstran dihadapkan beberapa aparat yang menghadang demonstran ketika ingin longmarch ke Gedung MPR/DPR, pada 12.25-12.30 siang.
Rombongan kembali dihadang aparat dengan barikade kepolisian di dekat gerbang Kantor Wali Kota Jakarta Barat pada 13.00 WIB. Negosiasi antara wakil mahasiswa dengan pimpinan Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A. Amril terjadi. Sementara masyarakat mulai ikut bergabung ke barisan demonstran.
Hasil negosiasi, mahasiswa tak diperbolehkan meneruskan longmarch, lantaran hanya akan menimbulkan kemacetan dan potensi vandalisme. Sementara massa mendesak untuk terus maju. Negosiasi berjalan hingga sekira pukul 17.00 WIB, di mana mahasiswa diharuskan kembali ke kampus.
Tapi tiba-tiba ada seorang oknum provokator yang mengaku sebagai alumni, meneriakkan kata-kata kasar ke arah demonstran. Sang provokator kabur dan dikejar lantaran dikira anggota aparat yang menyamar dengan pakaian preman.
Provokator itu kabur ke barisan aparat dan menimbulkan ketegangan. Massa demonstran dipaksa mundur ke kampus. Tapi ketegangan terus terjadi hingga pada sekira pukul 18.30, aparat memberondong mahasiswa dengan peluru tajam serta melemparkan gas air mata ke dalam kampus.
Aparat juga menyerbu ke dalam kampus dan melakukan sejumlah aksi penganiayaan dan pelecehan terhadap para mahasiswi. Tak lama, datang pula pasukan bermotor dengan rompi bertuliskan “URC” (Unit Reaksi Cepat), mengejar sisa-sisa mahasiswa sampai ke jembatan layang Grogol.
Aparat kian merapat ke gerbang kampus dan membentuk formasi dua lapis sebelum melakukan salvo tembakan ke arah kampus. Tiga meninggal seketika, satu lainnya kritis dan akhirnya meninggal di Rumah Sakit Sumber Waras.
Saat penembakan mulai reda, sekira pukul 20.00 WIB, seorang dekan dari Fakultas Ekonomi mencoba negosiasi dengan pihak aparat. Hasilnya, mahasiswa diperbolehkan pulang berangsur-angsur.
Sementara di RS Sumber Waras, situasi sudah penuh dengan para mahasiswa yang mengevakuasi rekan-rekannya, sebagaimana penuturan salah satu keluarga korban Heri Hertanto.
“Di malam kejadian, saya dijemput teman-temannya (Hery). Katanya Heri di rumah sakit. Saya awalnya berpikir apakah dia kecelakaan, karena dia memang suka ngebut kalau naik mobil,” tutur Lasmiyati, Ibunda almarhum Heri kepada Okezone.
“Kita dijemput sekeluarga untuk ikut dengan mobil mereka (teman-teman Hery). Begitu saya datang ke (RS) Sumber Waras, itu keadaannya sudah seperti lautan manusia. Saya sendiri dituntun teman-teman Hery dan tahu-tahu dia sudah tergeletak di kamar mayat,” tandasnya.
Tragedi ini tak pelak jadi salah satu faktor pemicu kerusuhan besar 13-15 Mei di tahun yang sama. Kerusuhan yang bisa disetarakan dengan tragedi “Kristallnacht” (malam kaca pecah) berdarah di Jerman jelang Perang Dunia II, 9-10 November 1938.
Ketika itu, terjadi penyerangan terhadap etnis tertentu, di mana dalam kasus di Jerman, toko-toko dan rumah milik etnis Yahudi yang dirusak. Dalam kasus di Indonesia pada ’98, etnis Tionghoa yang jadi sasaran amuk massa, hingga tak hanya terjadi pengrusakan, tapi juga sampai penganiayaan, pemerkosaan hingga pembunuhan.
(Randy Wirayudha)