JAKARTA - Bangunan kuno satu lantai di Jalan Abdurahman Saleh, Jakarta Pusat itu tampak sepi. Sementara sembilan poster para pendiri organisasi Boedi Oetomo seperti Dr. Sutomo, Dr. Soelaeman, dan Dr. Soewarno ,terpajang rapi berjejer di antara pintu masuk utama.
Sayup-sayup terdengar deru Kereta Api. Maklum, gedung Museum Kebangkitan Nasional (MKN) itu berjarak sekira 500 meter dari Stasiun Pasar Senen. Tempatnya yang terpencil, membuat para pengunjung kesulitan untuk menemukan lokasi bangunan seluas 5.294 meter persegi itu.
Tempat ini pula yang dulu kala, jadi saksi bisu pergerakan Boedi Oetomo. Sebuah gedung dengan tulisan "School tot Opleiding van Inlandsche Artsen" (STOVIA) di bagian atas bangunan depannya.
"Betul, di sini dulu sekolah kedokteran STOVIA yang terkenal itu," tutur Sujiman, Kepala Seksi Informasi dan edukasi Museum Kebangkitan Nasional kepada Okezone, Selasa (19/5/2015).
Sosok paruh baya itu lalu mulai mengajak untuk melihat-lihat seluk-beluk bangunan yang didirikan pada 1899 silam.
Dimulai dari ruang utama yang berukuran sekira 5x6 meter yang dulunya menjadi kantor Kepala Sekolah STOVIA pertama, Dr. Roll. Sujiman lantas bercerita tentang sosok Sutomo yang pernah digelandang di ruangan bercat putih tersebut, lantaran dianggap membangkang dengan mendirikan sebuah perkumpulan.
"(Dr. Sutomo) Diancam mau dikeluarkan, tapi sama Kepsek waktu itu, justru para guru yang membawa ditanya, apakah sewaktu kalian muda, tidak se-merah (punya semangat membara) seperti Sutomo?" bebernya.
Sujiman menyebut, berdirinya sekolah STOVIA merupakan tindak lanjut setelah sekolah juru suntik para priyayi Jawa mengalami kelebihan siswa.
Hanya memiliki satu kelas, sekolah yang dulu berada di tengah-tengah Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto itu lantas dipindah. Proses pembangunan yang membutuhkan waktu hingga tiga tahun, membuat bangunan tersebut baru bisa digunakan sejak 1902.
"Gedung ini dibangun 1899, tapi ditempati untuk sekolah dokter pribumi pada 1902," sambungnya.
Sosok yang sudah puluhan tahun bekerja di MKN itu pun, lalu menunjukkan sebuah ruang kelas yang menjadi saksi bisu berdirinya organisasi Boedi Oetomo.
Berukuran sekira 5x7 dan berisi tengkorak serta gambar-gambar anatomi tubuh. Dari ruangan yang berada di paling utara itu, Sutomo beserta delapan kawannya mencetuskan berdirinya organisasi modern di kelas tersebut.
"Di sini, kelas anatomi mereka rapat untuk membentuk Boedi Oetomo," sebut Sujiman sembari membersihkan debu-debu yang menempel di antara sembilan bangku yang tertata rapi.
Tepat di sebelah barat ruangan tersebut, terdapat belasan ranjang tidur, lengkap dengan bantal dan selimut berkain putih berjejer layaknya di sebuah panti. Beberapa nama besar, dikisahkan pernah merasakan beristirahat di tempat yang dulunya menggunakan penerangan lampu petromaks itu.
"Kalau ini asramanya, mereka tidur sini, Tirto Adisuryo, Bapak Pers Nasional juga pernah di sini, tapi tidak tamat," bebernya.
Namun, sejak 1920, bangunan tersebut tidak lagi digunakan. Alasannya, pemerintah kolonial telah kelar mendirikan Sekolah Dokter di Jalan Salemba. Para siswa STOVIA pun berpindah secara bertahap di bangunan yang kini menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
"Setelah tahun itu dibangun di Salemba, bangunan ini dianggap tidak memenuhi syarat. Proses pindah selesai 1925, dan itu jadi cikal bakal UI," ujarnya.
Eks Sekolah Stovia pun lalu digunakan untuk pendidikan MULO (setingkat SMP), AMS (setingkat SMA), dan unit belajar bagi calon asisten apoteker.
Namun, saat Jepang datang ke Indonesia, Belanda lantas mengubah peruntukannya menjadi markas tentara KNIL yang dibawa dari Ambon. Dan sekitar MKN pun sempat menjadi komplek pemukiman warga dari pulau Maluku yang masuk KNIL (Koninklinje Nederland Indische Leger) atau tentara Hindia-Belanda
"Jepang datang, 1942 lalu diganti jadi markas KNIL, khususnya tentara dari Ambon, Batalyon VI, sempat jadi kampung Ambon juga di kanan-kiri," kenangnya.
Setelah Indonesia merdeka, praktis MKN pun mangkrak. Hingga pada 1973, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin mengambil alih gedung tersebut. Sekira sembilan tahun kemudian, Pemerintah Provinsi DKI lalu menyerahkan bangunan bersejarah itu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Setelah merdeka mangkrak, 1973 Gubernur Ali Sadikin ambil alih dan dijadikan Gedung Kebangkitan Nasional, dan pada 1984 diserahkan ke pusat (Kemendikbud), baru dijadikan museum," pungkasnya.
(Randy Wirayudha)