MENGAMBIL kesempatan dalam kesempitan. Raden Soeria Kartalegawa, mantan Bupati Garut, memanfaatkan sedikit celah “persetujuan” Belanda untuk membuat negara sendiri, Negara Pasundan.
Tapi jangan klaim dulu bahwa Negara Pasundan yang dibentuknya pada 1947, 100 persen identik atau diteruskan Negara Pasundan “versi” Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema yang dideklarasikan 24 April 1948.
Negara Pasundan versi Kartalegawa bertujuan merdeka sepenuhnya, tak bergabung ke Republik Indonesia, maupun masuk dalam bagian pemerintahan boneka Hindia-Belanda. Negara Pasundan di bawah Kartalegawa ini bahkan sempat bikin kup atau kudeta di Bogor pada 23 Mei 68 tahun lalu (1947), kendati tak direstui Belanda.
“Kalau Kartalegawa itu 100 persen pro Belanda dan (Negara Pasundan) versi Wiranatakoesoema itu sebenarnya pro Republik, yang pura-pura mengikuti Belanda (membuat negara federal),” papar aktivis dan penggiat sejarah asal Bandung, Firman Hendriansyah kepada Okezone.
Awalnya, Kartalegawa mendapat dukungan pihak Belanda untuk mendirikan Partai Rakyat Pasundan (PRP), seperti Residen Belanda di Bandung, M. Klaassen, tserta sejumlah intel militer Belanda NEVIS. Jadilah Negara Pasundan versi Kartalegawa resmi dideklarasikan 4 Mei 1947.
Deklarasi itu diulanginya lagi ketika mendatangi Bogor dengan membuat upacara proklamasi. Sementara sejumlah pers Indonesia pada saat itu, mengecam dengan menyamatkan status musuh negara nomor satu.
Bahkan Kartalegawa dijuluki “Soeria NICA-Legawa”. Embel-embel sebutan NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), acap digunakan untuk orang-orang pribumi yang pro Belanda pada masa itu.
Tapi kemudian gerakan Kartalegawa itu tak mendapat restu dari Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda Hubertus Johannes van Mook. Selain karena track record Kartalegawa yang dikenal korup, pihak Belanda mulai tak berkenan dengan misi Negara Pasundan versi Kartalegawa yang juga ingin lepas dari Belanda.
“Kartalegawa itu kan ingin 100 persen Negara Pasundan merdeka dari Indonesia. Belanda juga jadi enggak suka kalau (Negara Pasundan) merdeka sepenuhnya, berarti dia (Kartalegawa) memproklamirkan negara yang juga lepas dari Hindia-Belanda,” lanjutnya.
“Awalnya (Negara Pasundan versi Kartalegawa) pro Belanda, tapi ingin merdeka sepenuhnya berarti udah melanggar. Harusnya jadi negara federal dan tetap di bawah Kerajaan Belanda sebagai induknya,” tambah Firman.
Kendati akhirnya tak disetujui van Mook, tekad Kartalegawa malah makin menjadi dan bahkan cenderung nekat. Nekat karena mengadakan Kup di Bogor pada 23 Mei 1947. Bersama para pengikutnya, Kartalegawa menduduki sejumlah kantor dan Stasiun Bogor.
Di sisi lain seperti dikutip media Belanda, Het Dagblad, Mr. Koestomo yang justru dibantu tentara Belanda juga menawan Residen Bogor Mr. R. Supangat. Tapi kup itu tak bertahan lama. Masalahnya gerakan Kartalegawa tak didukung para tokoh pasundan.
Kup yang tak didukung tokoh dan masyarakat Jawa Barat itu berangsur mereda, terlebih ketika Presiden RI pertama Soekarno, datang ke Jawa Barat dari Ibu Kota Yogyakarta pada akhir bulan Mei. Sementara Kartalegawa melarikan diri dan mencari perlindungan pada Kolonel Thompson dan Residen Statius Muller.
Kedatangan Soekarno beserta perwakilan parlemen Belanda, Lambertus Nico Palar, seolah menekankan bahwa rakyat Jawa Barat tak sepenuhnya simpatik pada Negara Pasundan bikinan Kartalegawa.
(Randy Wirayudha)