JAKARTA – Guru Besar FKM UI Budi Hidayat mengatakan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan harus kembali direvisi. Sehingga bisa disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendanai pelayanan kesehatan.
"Iuran harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendanai pelayanan kesehatan. Kalau iuran kurang ya akan defisit terus," ujarnya dalam diskusi yang digelar Elkape dengan BPJS Watch, di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (15/7/2015).
Menurut Budi, pemerintah harus merevisi iuran JKN dan untuk melihat peserta pekerja penerima upah (PPU) harus dilihat dari nilai persentase upah. Mengingat saat ini pemasukan dan pengeluaran BPJS Kesehatan saat ini besar pasak daripada tiang. Pada 2014 saja BPJS Kesehatan sudah defisit Rp1,8 triliun dan diprediksi akan kembali meningkat menjadi Rp12 triliun pada 2015.
"Besarannya bukan hanya penerima bantuan iuran (PBI) saja. Tetapi juga non-PBI. Baik PPU maupun sektor informal lainnya," ujarnya.
Adapun iuran yang ideal bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) seperti sektor informal Rp.36.000 per bulan. Angka tersebut akan memberikan manfaat bagi publik mampu menjaga kelanjutan program BPJS Kesehatan. Selain itu, pemerintah juga diminta merevisi plafon tertinggi dari 2 jadi 6 PTKP.
Kemudian, untuk peserta PBPU atau mandiri dengan ruang perawatan kelas 3 besaran iuran harus diperbaiki jadi per orang Rp.36.000 setiap bulan, sedangkan kelas 2 sekira Rp.60.000, sementara kelas 1 sekira Rp.80.000. Budi menilai, kalau seandainya iuran PBPU pakai pola asuransi komersial, itu iurannya harusnya sekira Rp.300.000.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan, BPJS Kesehatan tidak perlu menaikkan iuran. Mengingat akan ada banyak masyarakat akan terbebani akibat kenaikan iuran.
Bila kenaikan tersebut dilakukan, sambung Timboel, bukan hanya berdampak pada PBI tetapi juga akan berdampak pada tingkat perusahaan kendati bukan sesuatu yang berat lantaran bebannya ditanggung pengusaha dan buruh.
"Kalau pemerintah harus menaikkan iuran BPJS Kesehatan maka harus 5+1 yakni 5 persen ditanggung pengusaha dan 1 persen pekerja. Itu tidak berat kok,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Grup Komunikasi dan Hubungan Antarlembaga (HAL) BPJS Kesehatan, Ichsan, mengamini pandangan tersebut dan menilai tidak masalah dilakukan terlebih dengan adanya indikasi kerugian yang dialami BPJS Kesehatan.
"Itu tidak masalah. Kita kan tidak pada posisi di sektor penghitungan. Perhitungan dilakukan akademisi," tuturnya.
Ichsan menambahkan, BPJS Kesehatan telah mengantisipasi untuk mencegah kerugian terkait dengan besaran iuran yang ideal. Bahkan, BPJS juga akan selalu terbuka terhadap berbagai informasi terutama hasil audit.
"Dalam rangka mengantisipasi semua tadi, semua iuran yang sudah terkumpul tetap terjaga. Supaya kemampuan kita membayar klaim berjalan dengan baik," ujarnya.
(Arief Setyadi )