Hari Bhakti TNI AU, Sekilas Mengenal Tiga Perintis AURI

Randy Wirayudha, Jurnalis
Rabu 29 Juli 2015 08:08 WIB
Monumen Perjuangan TNI AU (Foto: Wikipedia)
Share :

DUKA tiada tara ditelan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, kini TNI AU), tak lama setelah euforia sempat melanda berkat keberhasilan operasi pertama, pemboman Semarang, Salatiga dan Ambarawa pada 29 Juli 1947.

Betapa tidak? Tak sampai sehari kabar operasi pertama AURI dengan tiga pesawat tua peninggalan Jepang itu sukses, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Soerjadi Soerjadarma serta sejumlah kadet AURI lainnya, melihat dengan mata kepala sendiri ketika pesawat angkut Dakota VT-CLA yang membawa sejumlah perwira AURI, ditembak dua pesawat pemburu Belanda.

Tiga perwira itu bukan sekadar perwira AURI biasa, melainkan tiga dari sejumlah perintis AURI di masa revolusi, yakni Komodor Udara Abdulrachman Saleh, Komodor Udara Agustinus Adisutjipto, serta Opsir Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Saat hampir mendarat di Pangkalan Maguwo, Yogyakarta, pesawat yang dipiloti warga Australia, Alexander Constantine ditemani Kopilot asal Inggris, Roy Hazlehurst, ditembaki dua pesawat pemburu Belanda, P40D Kittihawk, tepatnya di Desa Ngoto, Bantul.

Padahal pesawat itu dalam misi berpulang dari misi kemanusiaan ke India, Pakistan dan Singapura dengan membawa sejumlah sumbangan obat-obatan. Gugurnya tiga perintis AURI itu di kemudian hari, selalu diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU setiap tanggal 29 Juli.

Tidak lengkap jika tak mengenal sedikit lebih dekat dengan tiga bunga bangsa ini, jika mengungkit lagi kebiadaban Belanda pada Tragedi Dakota VT-CLA itu. Ketiganya gugur dalam usia yang sangat muda dan punya potensi besar membangun AURI lebih “mengangkasa” lagi.

Sekilas mengenal Abdulrachman Saleh, figur yang biasa dijuluki “Karbol” ini punya sederetan gelar akademis, bahkan hingga profesor di bidang kesehatan. Sosok asli Betawi kelahiran Jakarta 1 Juli 1909 itu, tak hanya dikenal sebagai pahlawan TNI AU, tapi juga tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan juga dikenal sebagai bapak ilmu fisiologi.

Abdulrachman sejak muda sudah mengenyam pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemene Middlebare School), hingga ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen).

Tapi pendidikannya di STOVIA tak sampai selesai dan putra dari Mohammad Saleh ini, pilih meneruskan memburu ilmu ke GHS (Geneeskundige Hoge School). Semasa jadi mahasiswa, Abdulrachman sudah aktif di organisasi kepemudaan Jong Java, Indonesia Muda dan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Keterkaitannya dengan dunia kedirgantaraan, Abdulrachman mengawalinya dengan kegemarannya pada dunia aviasi, hingga bisa punya surat izin terbang. Ketika KSAU Soerjadi mencari sejumlah figur untuk membangun AURI, Abdulrachman tak pikir panjang untuk bergabung, hingga menduduki jabatan Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946.

Sementara soal selayang pandang tentang Adisutjipto, tamatan GHS itu langsung menjurukan pendidikannya ke sekolah penerbang Belanda, Militaire Luchtvaart di Kalijati, Subang, Jawa Barat.

Sosok kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 3 Juli 1916 itu juga jadi pribumi pertama hyang mendirikan sekolah penerbang di Yogyakarta, yang kemudian berubah nama menjadi Landasan Udara Maguwo, pada 15 November 1945.

Sementara tak banyak kelengkapan biodata yang bisa ditemukan tentang sosok Adisumarmo. Pendiri sekolah Radio Telegrafis Udara kelahiran 31 Maret 1921 itu sedianya punya peran besar, terhadap perkembangan radio udara di lingkungan AURI.

Adisumarmo ikut misi kemanusiaan dengan Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto, sebagai operator radio Pesawat Dakota VT-CLA yang pada 29 Juli 68 tahun silam, jatuh di persawahan Desa Ngoto, Bantul, akibat diberondong tembakan pesawat pemburu Belanda.

Adisumarmo gugur dalam usia 26 tahun dan dikebumikan di Pemakaman (kini Taman Makam Pahlawan) Semaki, Yogyakarta. Gelar Pahlawan Nasional disematkan pada pada 9 November 1974 dengan Kepres No.071/TK/1074. Namanya diabadikan di Bandara Solo yang kini bernama Bandara Internasional Adisumarmo.

Sedangkan Abdulrachman Saleh yang saat gugur berusia 38 tahun, dikuburkan di Pemakaman Kuncen dan pada 14 Juli 2000, dipindah ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU, Bantul, Yogyakarta.

Gelar Pahlawan Nasional juga disematkan padanya via Kepres yang sama, dan namanya diabadikan sebagai nama Bandara Abdulrachman Saleh di Malang, Jawa Timur. Kepres yang sama pula juga diresmikan untuk menetapkan Adisutjipto sebagai pahlawan nasional.

Pemakamannya di Kuncen I, turut dipindahkan berbarengan dengan makam Abdulrachman Saleh ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU di Bantul. Adisutjipto tak ketinggalan diabadikan, untuk menggantikan nama Lanud Maguwo, menjadi Bandara Adisutjipto.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya