HARI ini 70 tahun yang lampau, terlecut dua peristiwa monumental yang jadi bagian penting sejarah republik ini. 19 September 1945, terjadi dua momen penting, baik di Jakarta dan ujung timur pulau Jawa, Surabaya.
Jika di Jakarta digelar rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang Gambir), di Kota Surabaya terjadi peristiwa yang tak kalah heroik, yakni insiden yang dikenal sebagai insiden perobekan bendera di Hotel Yamato.
Menilik peristiwa rapat raksasa di Ikada, gelaran itu merupakan prakarsa para pemuda Komite van Aksi. Sudah sedari subuh di tanggal yang sama, para pemuda sudah mendatangi kediaman Soekarno soal rapat raksasa itu.
Soekarno sendiri berjanji akan membicarakannya dengan kabinet yang baru dibentuk. Tapi massa yang sudah berkumpul sejak pagi, sempat menunggu selama 10 jam, lantaran Soekarno akhirnya baru menampakkan batang hidungnya pada petang hari sekira pukul 16.00.
Itu pun setelah didesak lagi oleh pemuda. Rakyat hanya menginginkan Soekarno tampil ke muka umum untuk menyampaikan kelanjutan proklamasi yang didengungkan 17 Agustus 1945.
“Percayalah rakyat kepada pemerintah. Kalau saudara-saudara memang percaya pada pemerintah yang akan mempertahankan proklamasi kemerdekaan itu, walaupun dada kami akan dirobek-robek, kami tetap mempertahankan Republik Indonesia. Maka berilah kepercayaan itu pada kami dengan cara tunduk kepada perintah-perintah dan disiplin,” seru Soekarno yang berpidato tak lebih dari lima menit.
Setelah itu, massa yang sedianya sudah siap bentrok fisik lantaran sudah membekali diri dengan bambu runcing dan golok, mau bubar seketika. Ancaman bentrok dengan tentara Jepang yang berjaga pun buyar dan situasi kembali kondusif.
Sementara di Surabaya, menyusul kedatangan sejumlah opsir sekutu dan Belanda pada 18 September 1945 dengan yang mengusung nama rombongan RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), tanpa seizin pemerintah Karesidenan Surabaya, menempati Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) di Jalan Tunjungan 65.
Setelah hotel itu dikuasai, sekelompok orang Belanda nekat mengibarkan bendera merah-putih-biru, warna bendera Belanda, juga tanpa izin pemerintah setempat.
Besoknya, 19 September 1945, pemuda Surabaya yang melihat bendera itu di tiang sisi utara hotel berkibar, meletuskan emosi dan menuntut bendera itu diturunkan.
Tak berapa lama, massa mulai menyemut di sekitar hotel. Sejumlah tentara Dai Nippon yang masih berada di Surabaya juga mulai nampak berjaga. Kemudian Residen Surabaya, Sudirman tiba di lokasi dan ingin berunding dengan perwakilan Belanda, W.V.Ch. Ploegman.
Tapi Ploegman dengan arogannya ‘ogah’ menuruti keinginan massa untuk menurunkan bendera merah-putih-biru dan menyatakan tak mengakui eksistensi Republik Indonesia. Sudirman pun diancam pergi dari hotel dengan todongan pistol.
Insiden pun terjadi. Pistol itu terpental dan meletus tanpa arah setelah tangan Ploegman ditendang pemuda Hariyono. Sudirman pun dievakuasi keluar hotel, sementara pemuda Sidik mencekik Ploegman.
Hariyono kemudian merangsek masuk lagi ke hotel bersma Kusno Wibowo hingga ke tiang sebelah utara Hotel Yamato. Pemuda Hariyono bersama Kusno pun menurunkan bendera, merobek warna biru di bendera Belanda, hingga menyisakan warna merah-putih, warna kebesaran bendera Indonesia untuk kemudian dikerek lagi untuk dikibarkan.
Seketika sang dwiwarna kembali berkibar, massa menyambutnya dengan pekik “Merdeka!" berulang kali dengan mengepalkan tangan ke udara.