JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendukung revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terutama pada Pasal 42, di mana KPK bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam sebuah kasus.
Menurut JK, lembaga antirasuah tersebut juga bisa salah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Karenanya, tidak adil jika Kepolisian dan Kejaksaan Agung Bisa mengeluarkan SP3, namun KPK malah tidak.
"Seperti SP3, kenapa SP3? Ya kan orang KPK kan manusia biasa bisa salah, contohnya juga AS (Abraham Samad) dan BW (Bambang Widjojanto) minta SP3 juga, masa ketua KPK minta SP3 tapi KPK tidak bisa, tidak adil kan," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Senin (12/10/2015).
Mantan Ketua Umum Partai Golkar juga menilai kelanjutan revisi UU KPK ada di tangan DPR. Karena maksud revisi itu lebih pada tataran teknis bukan prinsip dalam pemberantasan korupsi.
"(Revisi UU KPK) tergantung DPR, namun maksud revisi itu lebih mengenai teknis (pemberantasan korupsi)," tuturnya.
Sekadar informasi, Baleg DPR mulai membahas mengenai RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang kewenangan KPK.
Berikut ini, pasal-pasal yang akan di revisi oleh KPK.
1. Dalam Pasal 4, KPK tidak lagi melakukan pemberantasan korupsi, melainkan hanya bisa melakukan pencegahan.
2. Pasal 5, KPK dibatasai umurnya, yakni hanya 12 tahun.
3. Kemudian pada Pasal 13, KPK hanya boleh menyelidiki kasus dengan total kerugian nagara di atas Rp50 miliar. Sedangkan di bawah Rp50 miliar kasus korupsi diserahkan ke pihak kepolian dan Kejaksaan Agung.
4. Kemudian dalam Pasal 14, disebutkan KPK jika akan melakukan sadapan harus mendapat persetujuan dari Pengadilan Negeri.
5. Lalu di Pasal 42, KPK bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam satu kasus.
6. Kemudian Pasal 52, jika KPK ingin melakukan penyelidikan kasus maka harus memberitahukan ke pihak kepolisian dan Kejaksaan Agung, agar tidak tumpang tindih dalam penanganan kasus korupsi.
(Fiddy Anggriawan )