FREE TOWN – Wabah Ebola telah berlalu. Tepat pada 7 November, Sierra Leone merayakan tahun pertama kebebasan mereka dari wabah penyakit mematikan tersebut. Meski begitu, proses pemulihan menjadi tantangan utama pemerintah yang belum kunjung terselesaikan.
Banyak dari mereka, khususnya anak-anak yang menjadi yatim piatu karena orangtuanya meninggal akibat Ebola, harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kebutuhan primer yang paling sulit bagi mereka ialah mencari makan.
“Kami bersusah payah sekarang untuk mendapat makanan. Kadang, kami terpaksa tidak makan selama dua sampai tiga hari. Untungnya ada pastor di gereja yang membantu,” terang Minisha Tunigy (18), perempuan Sierra Leone yang berharap bisa menjadi perawat. Demikian seperti dikutip dari Daily Mail, Selasa (8/11/2016).
Berdasarkan data yang dihimpun Street Child’s Research, sedikitnya 12 ribu anak telah menjadi yatim piatu di negara tersebut pascawabah Ebola. Dalam kondisi seperti itu, segala cara pun dilakukan untuk memuaskan kebutuhan bilologis yang satu itu. Para remaja perempuan bahkan rela menjual diri mereka demi menukarkannya dengan makanan dan minuman.
Dana Populasi PBB mencatat lebih dari 18 ribu perempuan muda hamil selama krisis Ebola. Sementara UNDP menyebut kehamilan remaja meningkat 65 persen di beberapa komunitas di Sierra Leone.
Ketika urusan perut terisi, masalah lain lagi muncul. Mereka menjadi hamil. Alhasil, ada tambahan mulut untuk diberi makan. Salah satu kisah memilukan itu dialami Tracey Obamwi.
Dulunya, Tracey adalah gadis yang ceria. Dia giat belajar untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang polisi. Tetapi setelah Ebola menerjang desanya, kandas lah sudah semua mimpi dan asa itu. Orangtuanya tewas, meninggalkan dia bersama neneknya.
Ketika orangtuanya meninggal pada 2012, Tracey masih berumur 16 tahun. Dia diungsikan ke rumah pamannya agar tidak tertular virus tersebut. Akan tetapi, dia kemudian diberitahu bahwa seluruh keluarganya sudah meninggal.
Diliputi duka mendalam, Tracey bersumpah tidak akan pernah kembali ke desanya. Dia pun memutuskan pergi ke Freetown dan tinggal bersama neneknya. Di kota yang sama, dia jatuh cinta pada seorang pemuda yang lebih tua setahun darinya. Lalu hamil.
“Ketika saya tahu saya hamil, saya sangat ketakutan dan terpikir ingin kabur. Nenek saya sangat marah dan pergi menemui orangtua pacar saya dan mulai mengatai mereka. Dia bilang putra mereka akan masuk penjara atas perbuatannya pada saya. Dia terus pergi ke sana, membuat pria itu ketakutan dan menghilang. Sejak itu saya belum pernah melihatnya lagi,” tuturnya.
Menjadi orangtua tunggal bagi anaknya pada umur sebelia itu, Tracey sangat kikuk. Dia jadi sangat bergantung pada neneknya dibanding sebelumnya. Akan tetapi, sang nenek tidak mau peduli dan membuat hidupnya jadi lebih menderita.
“Nenek tidak bisa memaafkan perbuatan saya dan menjadi sangat kejam pada saya,. Dia bilang, mencari makan buat saya saja sudah susah, bagaimana dia bisa memberi makan satu mulut lagi? Dia membiarkan saya kelaparan dan mencuri pakaian saya. Karena itu saya memutuskan pergi dari rumah itu,” tambahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya, Tracey harus berupaya mati-matian membesarkan anaknya. Untunglah, ada seorang teman berbaik hati memberikannya tumpangan. Meski begitu, makanan tetap jadi masalah utama.
Selain Tracey, ada juga remaja yatim piatu yang menanggung beban untuk menjaga saudaranya yang masih kecil. Sekolah tak lagi jadi prioritas, para remaja ini harus lebih mengutamakan mencari nafkah, menggantikan peran kedua orangtua yang telah tiada. Jika ada rezeki, mereka berharap adik-adik mereka bisa mengenyam bangku pendidikan lebih tinggi dari mereka.