PARK Geun-hye mencatatkan sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat Presiden Korea Selatan (Korsel) pada 25 Februari 2013. Politikus Partai Saenuri itu empat tahun kemudian kembali mencatatkan sejarah sebagai presiden terpilih secara demokratis pertama yang dilengserkan.
Pencopotan itu diumumkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat 10 Maret 2017 sekira pukul 11.00 waktu setempat. Putusan diambil setelah Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan status Park Geun-hye yang dimakzulkan oleh Parlemen Korsel pada 9 Desember 2016.
Perjanalan hidup perempuan berusia 65 tahun itu bagai menaiki roller coaster dalam lima bulan terakhir. Dugaan skandal korupsi Presiden Korsel Park Geun-hye mulai membuat warga Negeri Ginseng gerah pada penghujung Oktober 2016. Putri mendiang Presiden Korsel Park Chung-hee itu diduga ikut dalam kasus penyalahgunaan dana publik yang dilakukan rekannya, Choi Soon-sil.
Soon-sil adalah putri seorang pendeta yang menjadi penasihat spiritual Park Geun-hye usai sang ayah dibunuh pada 1979. Sejak itu, keduanya menjadi dekat karena Geun-hye seakan memiliki utang budi pada keluarga Choi Tae-min.
Park Geun-hye meminta maaf secara terbuka kepada rakyatnya pada 25 Oktober 2016 ketika skandal tersebut makin terbuka. Ia meminta maaf atas tindak-tanduk Choi Soon-sil selama masa-masa awal jabatannya dahulu. Perempuan berusia 60 tahun itu dituduh menggunakan kedekatannya dengan Geun-hye untuk memeras sejumlah pengusaha sekaligus ikut campur dalam urusan negara.
Choi Soon-sil kemudian ditahan oleh pihak Kejaksaan Agung pada 31 Oktober 2016 setelah melalui interogasi selama berjam-jam. Ia dicurigai menyelewengkan dana hasil pemerasan dari korporasi Korsel untuk kepentingan pribadi serta mempengaruhi urusan negara.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 4 November 2016, Park Geun-hye kembali muncul di siaran televisi dan meminta maaf secara terbuka. Kali ini, ia berjanji untuk bertanggung jawab jika terbukti bersalah. Kisah berlanjut pada 20 November ketika kejaksaan menjatuhkan dakwaan kepada Choi Soon-sil.
Warga mulai gerah. Mereka menuntut Park Geun-hye untuk segera mundur dari jabatannya. Ia tidak akan bisa diselidiki selama memegang jabatan sebagai presiden karena memiliki imunitas hukum. Geun-hye kembali meminta maaf pada 29 November dan meminta parlemen mengambil keputusan sebagai pemegang mandat rakyat.
Parlemen Korsel kemudian memutuskan untuk memakzulkan Park Geun-hye lewat mekanisme voting pada 9 Desember 2016. Parlemen menunjuk Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Presiden Korsel. Park Geun-hye dicabut kuasanya sebagai presiden dan menunggu nasib selama 180 hari ke depan.
Sesuai Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada 1988, Mahkamah Konstitusi wajib memutuskan nasib sang presiden yang dimakzulkan dalam 180 hari sejak diputuskan oleh parlemen. Sebelum Park Geun-hye, Roh Moo-hyun juga pernah dimakzulkan oleh parlemen pada 2004. Sama dengan Park, ia juga dibekukan dari segala aktivitas kepresidenan.
Namun, Roh Moo-hyun diangkat kembali oleh Mahkamah Konstitusi. Wewenangnya sebagai presiden juga dikembalikan. Kendati pernah dimakzulkan, publik Korsel sangat mencintai dan mendukung penuh Roh Moo-hyun.
Hal sebaliknya terjadi dengan Park Geun-hye. Mahkamah Konstitusi menilai perempuan itu memberikan dampak buruk bagi masyarakat. Atas dasar itu, Geun-hye dicopot. Pencopotan tersebut menimbulkan konsekuensi pemilihan presiden (pilpres) dimajukan dari jadwal semula 20 Desember menjadi 9 Mei 2017. Sesuai undang-undang, pilpres harus digelar dalam jangka waktu 60 hari setelah pencopotan presiden.
(Silviana Dharma)