PENYUKA tembang-tembang klasik, mesti hampir semua mengenal akan lagi accoustic folk berbahasa Belanda nan bernada jenaka bertajuk, ‘Geef Mij Maar Nasi Goreng’. Lagu itu dipopulerkan Louisa Johanna Theodora “Wieteke” van Dort pada 1979.
Liriknya sarat kata-kata jenaka yang punya makna lumayan dalam tentang kerinduan. Kerinduan Tante Lien, sapaan akrab Wieteke van Dort, akan Indonesia. Kerinduan akibat terusir dari negeri kelahirannya dan terpaksa “mengungsi” ke tanah asal orangtuanya, Belanda enam dekade (60 tahun) lampau.
Lagunya menggambarkan bagaimana Tante Lien bernostalgia dengan beragam kuliner nusantara. Mulai dari telur dadar, sambal, kerupuk, lontong, terasi, serundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, bakpau, ketan, gula jawa, serta tentunya nasi goreng khas nusantara dengan pelengkap telur ‘ceplok’ goreng.
Lagunya sangat ekspresif yang ternyata, memang ungkapan kerinduannya terhadap nusantara dan justru tak betah dengan Negeri Tulip – Belanda. Kerinduan yang turut dia tumpahkan dalam karya buku bertajuk ‘Wieteke van Dort, Kind in Surabaja: Indische Herinneringen’, serta ‘Aan Tafel Met Wieteke van Dort’.
Sebelum kita lanjut akan kerinduannya, ada baiknya kenal lebih dekat dengan wanita Belanda yang tak kenal lelah mempopulerkan berbagai kultur Indonesia ini di Belanda.
Tante Lien lahir di Surabaya pada 16 Mei 1943, di kala negeri yang dulu bernama Hindia Belanda itu, berada di bawah pendudukan Jepang. Pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, Tante Lien “kecil” tetap tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur dekat tempat ayahnya bekerja.
“Ayah Wieteke van Dort itu administrateur di sebuah pabrik gula di Candi, Sidoarjo. Keluarganya sempat terkena imbas Masa Bersiap yang membuatnya kehilangan sang ayah,” tutur penggiat sejarah Roode Brug Soerabaia Ady Erlianto Setiawan kepada Okezone.
Kendati begitu, Tante Lien dan keluarganya tetap bertahan di Indonesia, setidaknya sampai 1957. Tante Lien dan keluarganya bersama sekitar 300 ribu orang Belanda atau Indo-Belanda, terpaksa terusir dari negeri tempatnya lahir akibat sentimen anti-Belanda.
Gara-garanya, di tahun itu tengah panas-panasnya hubungan RI-Belanda akibat konflik Irian Barat. Di Belanda, ternyata Tante Lien enggak kerasan.
Tidak hanya soal cuaca. Ya wajar karena sepanjang hidupnya sejak lahir, Tante Lien terbiasa dengan cuaca panas di Sidoarjo dan Surabaya. Selain cuaca yang dingin, Tante Lien juga ternyata enggak doyan dengan makanan-makanan di Belanda.
Makanya untuk mengekspresikan rasa kangen dengan kuliner nusantara, Tante Lien membuat lagu ‘Geef Mij Maar Nasi Goreng’ yang kurang lebih artinya: “Berikan Aku Nasi Goreng” pada 1979.
Namun di Belanda Tante Lien tetap berkarya. Sempat mengajar di taman kanak-kanak, Tante Lien “makan bangku kuliah” di Akademi Seni dan Drama, hingga kemudian jadi artis, komedian, penyanyi, aktris dan pembawa acara di beberapa acara TV maupun off air di Belanda.
Yang paling dikenal, adalah acara The Late Late Lien Show di era 1980-an, di mana Tante Lien membawakan banyak lagu-lagu bertema Indonesia. Konsistensinya mengenalkan budaya Indonesia membuatnya dianugerahi pemerintah dengan bintang jasa Oranje-Nassau.
Tante Lien pada 2007 juga dianugerahi Kementerian Pertahanan Belanda dengan penghargaan Silver Medal of Merit. Penghargaan itu ditujukan atas baktinya konsisten menghibur Hari Veteran Belanda di Den Haag sepanjang 30 tahun.
Kini Tante Lien masih hidup dan tinggal di Den Haag, Belanda di usia 70 tahun. Beberapa kali Tante Lien bernostalgia dengan kembali ke Surabaya walau jarang dalam waktu yang lama.
Tidak hanya kuliner, kecintaan Tante Lien pada Indonesia juga karena keindahan alamnya. Salah satu albumnya dia beri tajuk ‘Land van de Zon’ atau Tanah Matahari, di mana lagu-lagunya mengacu pada sejumlah pesona dan keindahan Indonesia yang kaya.