Bisnis Hate Speech Tak Ubah seperti Penjualan Narkotika!

Fahreza Rizky, Jurnalis
Sabtu 26 Agustus 2017 14:21 WIB
foto: Illustrasi Okezone
Share :

JAKARTA - Publik terkejut dengan adanya aktivitas kelompok Saracen yang diungkap kepolisian. Pasalnya, kelompok itu diduga memproduksi dan menyebarkan konten bernuansa ujaran kebencian dan SARA di media sosial (medsos).

Praktisi hukum Andi Syafrani mengatakan, ‎polisi tak cukup hanya menangkap operator sindikat Saracen saja. Menurutnya, pengorder dari pada konten tersebut harus dibongkar untuk diketahui motifnya.

"Ini enggak bisa hanya di satu pihak supplier-nya, tapi demander-nya, orang-orang yang memesan juga harus di publish sehingga kita tahu siapa mereka, untuk kepentingan apa dan kita harus memberikan hukuman berat terhadap orang yang melakukan transaksi tidak halal seperti ini," kata Andi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2017).

 (Baca juga: Djarot Minta Babat Habis Semua Kelompok Saracen!)

Andi menilai, bisnis ujaran kebencian tak ubahnya seperti bisnis narkotika. Pasalnya, ‎hal itu sudah jelas dilarang lantaran mampu merusak dan memecah belah persatuan bangsa, namun masih saja praktik tersebut dijalankan.

"Sama saja (seperti) orang yang bertransaksi narkoba," tandasnya.

 (Baca juga: Sebut Saracen Anti-Islam, Eggy Sudjana: Enggak Logis Saya Masuk ke Situ)

Bisnis ujaran kebencian juga dipengaruhi oleh prinsip dasar ekonomi soal supply (penawaran) and demand (permintaan). Ketika ada permintaan maka si penjual akan memberikan penawaran harga. Pada umumnya, kata Andi, pemesan ditengarai memiliki kepentingan politik tertentu.

"Demander-nya yang ingin melakukan kegiatan seperti ini tentu punya kepentingan yang lebih besar, dan itu hanya ada di ranah politik," ujar Andi.

Kurangnya Literasi Media Sosial

Di sisi lain, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menilai maraknya hoax atau berita bohong karena rendahnya literasi media sosial. Karenanya, Mafindo mengusulkan agar kurikulum literasi media sosial masuk ke dalam materi pembelajaran peserta didik.

"Kita perlu kurikulum untuk literasi medsos. Itu PR dan perlu waktu lama bikin (payung hukumnya). Sambil menunggu pemerintah, kita tetap jalan (memberi edukasi literasi medsos)," kata Ketua Mafindo Cabang Jakarta, Astari Yanuarti.

 (Baca juga: Saracen Disebut Didasari Motif Ekonomi, Eggy Sudjana Lebih Percaya Ada Faktor Politik)

‎Astari menilai, unsur pemerintah yang wajib memberikan edukasi mengenai penggunaan media sosial, satu di antaranya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Ia meminta kementerian pimpinan Muhadjir Effendy itu membuat kurikulum mengenai literasi media sosial. Tujuannya agar generasi muda‎ dapat memilah informasi yang layak untuk dikonsumsi atau tidak. Mengingat, saat ini korban hoax semakin banyak dan penggunaan internet tidak diiringi pemberian edukasi mengenai medsos.

 (Baca juga: Komisi III DPR: Polisi Harus Libatkan PPATK Lacak Siapa yang Mendanai Saracen)

Sekadar informasi, Bareskrim Polri membongkar bisnis penyebaran kebencian dan SARA melalui media sosial. Kelompok tersebut bernama Saracen. Hingga saat ini akun yang tergabung didalamnya berjumlah ratusan ribu‎.

Saracen diduga menyebarkan kebencia‎n dan SARA berdasarkan pesananan seseorang atau kelompok tertentu. Motif sementara dari kegiatan ini yakni hal ekonomi. Kini, aparat kepolisian masih menyelidiki dalang di balik grup Saracen.

Pengungkapan kasus ini telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Mereka adalah JAS (32) yang ditangkap di Pekanbaru, SRN (32) ditangkap di Cianjur dan MFT ditangkap di Koja, Jakarta Utara.

Ketiga tersangka itu, memiliki peran yang berbeda-beda. Untuk JAS sendiri, berperan sebagai Ketua Grup Saracen yang bertugas untuk mengunggah postingan provokatif yang mengandung isu SARA.

(Awaludin)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya