SELAMA empat tahun terakhir, etnis Rohingya yang tinggal di perbatasan Myanmar dan Bangladesh yaitu tepatnya di Rakhine State hidup dalam mimpi buruk. Mereka terjebak dalam konflik kemanusiaan yang mengancam jiwa. Banyak versi yang menunjukkan asal mula dari konflik itu terjadi. Namun yang pasti, berbagai perlakuan yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) telah mereka dapatkan sejak 2012.
Rohingya merupakan kelompok etnis di Myanmar yang dinyatakan tidak memiliki kewarganegaraan. Rakhine State sendiri menjadi rumah bagi lebih dari satu juta orang Rohingya yang mayoritasnya adalah Muslim. Oleh karena itu, Rohingya diklaim sebagai salah satu populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Namun di Myanmar, Muslim Rohingya merupakan minoritas, mengingat kebanyakan penduduk Myanmar memeluk agama Budha atau Hindu.
Tentara Myanmar menghancurkan setidaknya 1.500 bangunan dan menembaki pria yang tak bersenjata, wanita, dan anak-anak. Bahkan ada video yang muncul menunjukkan penduduk desa duduk di tanah dengan tangan di atas kepala mereka dan tampak seorang tentara memukul salah seorang pria.
Human Rights Watch menggambarkan kekerasan terhadap Rohingya sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan", yang dilakukan sebagai bagian dari pembersihan etnis. Menteri luar negeri Malaysia Dato' Sri Anifah Aman menggambarkan tindakan pemerintah Myanmar sebagai pembersihan etnis dan meminta mereka untuk menghentikan praktik tersebut. Kepala Badan Pengungsi PBB, John McKissick, juga merasa bahwa Pemerintah Myanmar melakukan pembersihan etnis terhadap orang Rohingya.
Bisnis dan Perebutan Tanah di Balik Konflik?
Salah satu penyebab awalnya konflik ini terjadi ada hubungannya dengan bisnis. Disitat dari Guardian, Senin (4/9/2017), tanah seluas 1.268.077 hektare yang ada di Rakhine, rumah bagi etnis Rohingya, akan dikembangkan sebagai perdesaan suatu perusahaan oleh Pemerintah Myanmar. Padahal, awalnya pemerintah mengatakan hanya menggunakan 7.000 hektare tanah yang ada di Rakhine. Perampasan daerah dan pengusiran warga pun menjadi salah satu alasan mengapa etnis Rohingya mendapatkan siksaan yang begitu kuat.
Profesor Sosiologi dari Columbia University, Saskia Sassen, meneliti konflik kemanusiaan di Rakhine yang terjadi puluhan tahun terakhir. Dalam laporannya yang dilansir Guardian, Sassen menyebut, selama dua dekade terakhir ini telah terlihat peningkatan akuisisi perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia untuk pertambangan, kayu, pertanian, dan air.
Dalam kasus Myanmar, militer telah menguasai hamparan tanah dari petani kecil sejak 1990-an, tanpa kompensasi, namun dengan memberi ancaman jika mereka melawan. Perebutan lahan ini terus berlanjut selama beberapa dekade namun telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pada saat serangan 2012, lahan yang dialokasikan untuk proyek besar meningkat 170% antara 2010 dan 2013. Pada 2012, undang-undang yang mengatur tentang tanah diubah untuk mendukung akuisisi perusahaan yang besar.
Penganiayaan yang tajam dari kelompok Rohingya (dan kelompok minoritas lainnya) harus dipertanyakan apakah disebabkan oleh kepentingan ekonomi militer, bukan masalah agama atau etnis.
Seorang perempuan Rohingya, Nur Khatu (45) duduk di gubuknya yang berukuran 3x2 meter di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9/2017). Nur Khatu tinggal sebatang kara tanpa anak setelah suaminya meninggal dunia saat konflik di Sittwe tahun 2012. Keadaan yang semakin memanas saat ini membuat masyarakat Rohingya di Sittwe semakin tertekan. (Foto: Antara)
Selain itu, etnis Rohingya tinggal di daerah termiskin di Myanmar. Banyak elite yang merasa bahwa etnis Rohingnya menambah beban negara Myanmar. Padahal, seperti yang dikatakan sebelumnya, etnis Rohingya dianggap sebagai masyarakat yang tak punya kewarganegaraan. Mereka menganggap bahwa kemiskinan Rohingya seharusnya bukan tanggung jawab Myanmar. Oleh karena itu ada upaya “pembersihan” dari beberapa pihak atau isu genosida yang mengakibatkan konflik tersebut terus-menerus terjadi.
Eskalasi Kekerasan Meningkat
Pada 2016, seperti diwartakan BBC, Tentara Myanmar mulai “berani” secara terang-terangan menyerang etnis Rohingya. Pada Minggu 13 Oktober 2016, tentara Myanmar menembaki etnis Rohingya. Warga yang ditembaki tidak bisa melawan karena mereka hanya bersenjatakan golok dan batang kayu. Penembakan tersebut mengakibatkan 25 orang tewas yang di antaranya adalah perempuan dan anak kecil. Selain menembaki mereka, para tentara tersebut juga membakar desa-desa yang memaksa etnis Rohingya tersebut meninggalkan desanya.
Pembantaian terparah terjadi pada 25 Agustus 2017. Sebanyak 400 gerilyawan Rohingya dibantai oleh Tentara Myanmar. Mereka berdalih melakukan hal tersebut untuk menumpas aksi “teror” dari kelompok etnis Rohingya. Namun setelah ditelusuri, justru hampir 1.000 yang dibunuh oleh tentara tersebut. Tak hanya dibunuh, beberapa di antaranya juga diperkosa terlebih dahulu. Lebih mirisnya lagi, anak-anak juga termasuk menjadi korban.
BACA JUGA: Sadis! Hampir 400 Gerilyawan Rohingya Tewas Akibat Serangan Tentara Myanmar
Sejumlah Muslim Rohingya menunaikan Salat Idul Adha di Masjid Pealeshung, di kawasan kamp pengungsian internal di kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Sabtu (2/9/2017). Pelaksanaan Iduladha di Myanmar satu hari lebih lambat dari pelaksanaan Idul Adha pada umumnya. (Foto: Antara)
Banyak etnis Rohingya yang selalu berusaha untuk melarikan diri dari rumahnya sendiri. Seperti kabur ke negara tetangga yaitu Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Sebanyak 1.107 orang berlabuh ke Pulau Langkawi, Malaysia. Sekira 1.800 orang berhasil menepi di Aceh, Indonesia. Namun sayang, etnis Rohingya yang pergi ke Bangladesh tidak selalu diterima baik oleh pemerintah setempat. Mereka beralasan bahwa negara mereka saja sudah susah dan tak ingin menambah beban. Maklum, Bangladesh hingga kini telah menampung sedikitnya 400 ribu pengungsi Rohingya.
Akibat situasi yang serba sulit tersebut, tangan otoritas Bangladesh sendiri terikat dalam memberikan bantuan. Mereka terpaksa melarang warga Rohingya masuk ke Bangladesh, dan mengancam mengusir siapa pun yang mencoba masuk perbatasan. Bahkan, rombongan etnis Rohingya yang sudah terlanjur menepi ke Bangladesh diberi makan dan sebotol air lalu dipaksa kembali ke Myanmar tanpa peduli keadaan laut seperti apa.
Dunia Kompak Mengutuk Keras Kekejaman di Rakhine
Perlakuan seperti itu membuat dunia geram. Salah satu yang vokal dengan penindasan etnis Rohingya adalah Presiden Turki yaitu Tayyip Erdogan.
"Sayangnya saya bisa bilang dunia buta dan tuli terhadap apa yang terjadi di Myanmar," kata Erdogan dalam wawancara yang disiarkan di televisi untuk menandai tiga tahun kepresidenannya.
"Dunia tidak mendengar dan tidak melihat," imbuhnya.
Aksi solidaritas Muslim Indonesia membela Muslim Rohingya di depan Kedubes Myanmar, Senin (4/9/2017). (Foto: dok. Okezone)
Erdogan menggambarkan penderitaan terkini pengungsi yang menuju Bangladesh sebagai "peristiwa yang sangat menyakitkan" dan berjanji mengangkat isu tersebut di Majelis Umum PBB.
"Tentu kami mengutuk ini dengan cara yang paling keras. Dan kami akan menindaklanjuti ini melalui sejumlah lembaga internasional, termasuk PBB," ujar Erdogan, seperti disitat dari Channel News Asia.
BACA JUGA: Erdogan: Dunia Buta dan Tuli terhadap Penderitaan Rohingya
Negara-negara Islam dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menulis surat secara langsung kepada Sekjen PBB dan Suu Kyi meminta Myanmar agar berhenti mengirim tentara untuk menghadapi Rohingya.
OKI sangat mengecam pembantaian etnis Rohingya dan pembakaran desa-desa mereka oleh tentara. Myanmar dianggap melanggar komitmen internasional mereka sendiri yaitu melindungi warga sipil.
Suara dan Aksi Indonesia untuk Rohingya
Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengecam aksi brutal tentara Myanmar tersebut. Ia juga memerintahkan langsung kepada Menlu Retno agar membantu menyelesaikan konflik tersebut.
“Saya dan seluruh rakyat Indonesia, kita menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi di Myanmar (Rohingya). Perlu sebuah aksi nyata, bukan hanya pernyataan kecaman,” ujar Jokowi di Istana Merdeka, Minggu 3 September.
“Saya tugaskan Menlu untuk menjalin komunikasi. Pemerintah telah mengirim bantuan makanan dan obat-obatan,” tambahnya.
BACA JUGA: Soal Kekerasan Rohingya, Jokowi: Perlu Aksi Nyata, Bukan Hanya Kecaman!
Presiden Joko Widodo melepas 10 kontainer bantuan kemanusiaan untuk Rohingya. (Foto: Antara)
Aksi nyata tersebut salah satunya dibuktikan dengan pembangunan Rumah Sakit Indonesia, yang saat ini masuk ke tahap II. Direncanakan pembangunan tahap II ini akan selesai dalam dua bulan. Setelah itu, tahap III berupa pembangunan gedung utama rumah sakit akan dimulai. Bangunan rumah sakit menempati tanah sekira 8.000 meter persegi dan luas bangunan lebih dari 1.000 meter persegi.
“Pembangunan tahap pertama Rumah Sakit Indonesia telah selesai dilakukan. Tahap pertama ini meliputi pengurukan tanah sehingga rumah sakit tersebut tidak rentan terhadap banjir serta pembangunan pagar," ungkap Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi melalui keterangan pers, Senin (4/9/2017).
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menlu Retno Marsudi (tengah) dan Kepala Kantor Pelayanan Utama tipe A Bea dan Cukai Tanjung Priok Fajar Doni (kiri) memeriksa bantuan kemanusiaan yang akan dikirim untuk pengungsi Rohingya dan Rakhine di Dermaga III Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Kamis (29/12/2016). Presiden Joko Widodo melepas sebanyak 10 kontainer yang berisi mi instan, terigu, biskuit, makanan bayi, sarung dan selimut untuk dikirim ke pengungsi Rohingnya dan Rakhine di Myanmar. (Foto: Antara)
Pelaksanaan pembangunan rumah sakit sepenuhnya dilakukan oleh kontraktor dan pekerja di Myanmar. Pekerja tersebut terdiri dari orang Rakhine dan Muslim. Diharapkan proses pembaruan melalui kegiatan ekonomi ini akan membantu proses rekonsiliasi ketegangan antar-komunal yang berada di Rakhine State.
BACA JUGA: Tiba di Naypyitaw, Menlu Retno Akan Bahas Pembangunan Rumah Sakit Indonesia
Nobel Perdamaian Tak Pantas untuk Aung San Suu Kyi?
Konflik yang terus-menerus terjadi tidak membuat Pemerintah Myanmar melakukan apa pun. Bahkan penerima Nobel Perdamaian Dunia, Aung San Suu Kyi, tidak berkomentar atas terjadinya konflik tersebut. Meski telah diancam gelar nobel-nya akan dicabut, Aung San Suu Kyi masih bergeming. Banyak orang yang sudah mulai membuat petisi agar gelar tersebut dicabut dari Suu Kyi.
Sebagai pengingat, Suu Kyi pernah ditindas oleh junta militer Myanmar hingga akhirnya mendapat dukungan masyarakat internasional sehingga memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian. Namun setelah partainya menang pemilu dan kubunya berkuasa di Myanmar, Suu Kyi dinilai banyak kalangan tidak berbuat cukup banyak untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
BACA JUGA: Muslim Rohingya Ditindas, Komnas HAM: Nobel Perdamaian Suu Kyi Bisa Dicabut!
Tak hanya petisi online, para tokoh dunia juga mengecam status penerima Nobel Perdamaian yang disandang Suu Kyi. Salah satu yang mengirim surat terbuka untuk PBB agar Nobel Perdamaian Suu Kyi dicabut adalah penerima Nobel Perdamaian 20016, Muhammad Yunus.
Surat tersebut tak hanya mengatasnamakan dirinya, namun mengatasnamakan penerima nobel kedamaian lainnya. Tokoh lain yang mendesak pencabutan penghargaan Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi adalah aktivis HAM seperti uskup Agung Afrika Selatan, Desmond Tutu, serta pejuang hak pedidikan yang juga meraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai. Mereka mengkritik pemimpin de facto Myanmar tersebut atas kekerasan berdarah terhadap minoritas Rohingya.
"Meski telah diajukan permohonan berulang-ulang kali kepada Daw Aung San Suu Kyi, kami frustrasi melihat dia belum mengambil inisiatif apa pun untuk memastikan hak-hak kewarganegaraan penuh dan setara bagi etnis Rohingya. Daw Suu Kyi adalah seorang pemimpin dan bersamaan dengan itu, ia harus memimpin dengan keberanian, kemanusiaan, dan kasih sayang,” ungkap para tokoh itu dalam surat terbuka.
Konflik kemanusiaan di Rakhine ini nampaknya masih jauh dari titik penghabisan. Dan selama itu pula, ratusan ribu warga Rohingya tidak dapat lelap memejamkan mata mereka.
(Rifa Nadia Nurfuadah)