Seo tinggal selama sebulan di Selatan saat pesan radio dari Pyongyang memerintahkannya untuk kembali ke Utara. Sayangnya, dia terlambat tiba di tempat penjemputan dan ketinggalan perahu penyelamat yang seharusnya membawanya kembali. Putus asa, Seo sempat mencoba berenang melintasi sungai, sampai dia ditangkap oleh angkatan laut Korsel.
“Sebagai mata-mata, Anda seharusnya bunuh diri dengan menelan kapsul racun atau menggunakan senjata. Tetapi saat itu tidak ada waktu untuk melakukan bunuh diri,” kata Seo.
Dia kemudian diinterogasi, disiksa dan dipukuli selama berbulan-bulan tanpa cukup makan atau tidur sebelum dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer. Selama menunggu eksekusi, Seo ditahan di sebuah sel tunggal, menyaksikan beberapa mata-mata Korut lain meregang nyawa di tiang gantungan.
Pada 1963, hukuman matinya dibatalkan karena dia dianggap sebagai seorang mata-mata pemula yang gagal menjalankan misinya. Namun, dia kembali divonis mati pada 1973 setelah ketahuan berusaha membujuk tahanan lain untuk menganut komunisme.
“Ibu saya berulangkali pingsan di pengadilan saat jaksa menuntut hukuman mati dan hakim menjatuhkan hukuman mati,”kata Seo dalam wawancara dengan media internasional.
Orangtua Seo menjual rumah mereka untuk menutupi biaya pengadilan putranya, tetapi mereka meninggal saat Seo masih mendekam di penjara. Pihak Korsel melakukan berbagai upaya untuk membuat para tahanan Korut berpindah keyakinan, bahkan dengan cara penyiksaan seperti waterboarding, pemukulan, membatasi makanan dan tidur, atau menempatkan mereka di sel kecil dan tertutup.
Seo bertahan dan menolak melepaskan ideologi komunisnya meski dia kemudian harus kehilangan mata kirinya karena radang. Tetapi setelah tiga dekade, pada 1991, Seo akhirnya berkompromi dan berjanji untuk menaati hukum Korsel.