Apa yang terjadi pada 1816 diyakini merupakan pendinginan yang sedang berlangsung dari Little Ice Age yang diperburuk oleh letusan gunung berapi.
Sejarawan John D. Post menggambarkan peristiwa pada 1816 sebagai "krisis kehidupan terakhir di dunia Barat." New England, Atlantik Kanada, dan sebagian besar wilayah Eropa Barat tampaknya menjadi wilayah yang terkena dampak paling besar.
Seiring pertanian yang terdampak krisis dan panen yang gagal, terjadi sejumlah kerusuhan di Inggris dan Prancis. Keadaan bahkan lebih buruk lagi di Swiss, di mana pemerintah mengumumkan keadaan darurat karena kelaparan besar akibat kelaparan. Hujan yang tak henti-henti turun turut memperburuk situasi, karena beberapa sungai terbesar di Eropa meluap dan menyebabkan banjir.
Peristiwa mengerikan itu memiliki implikasi yang rumit, meski tidak semuanya buruk. Konsentrasi tephra, bahan partikulat yang dilepaskan oleh letusan gunung berapi, yang tinggi berakhir di atmosfer sehingga menciptakan fenomena matahari terbenam yang unik. Beberapa di antaranya terekam dalam lukisan karya pelukis Inggris J. M. W. Turner. Fenomena matahari terbenam serupa juga tampak setelah letusan Gunung Krakatau pada 1883, dan belakangan ini, pada 1991 ketika Gunung Pinatubo di Filipina meletus.
Namun, di tengah bencana besar ini, manusia justru terdorong untuk menemukan inovasi berharga. Misalnya, karena kelaparan yang menyebabkan tidak ada makanan untuk memberi makan kuda, penemu Jerman Karl Drais termotivasi untuk mencari metode transportasi lain. Dari pemikirannya, Drais berhasil menemukan velocipede, atau sepeda.