JAKARTA - Pertempuran Surabaya sepanjang November 1945 kerap diidentikan dengan kisah kepahlawanan Sutomo atau Bung Tomo sebagai tokoh sentral dalam pertempuran tersebut.
Padahal, sederet nama lain turut memberi sumbangsih penting selama pertempuran yang berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Mangundiprojo misalnya. Pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 5 Januari 1905 ini memilliki nama lengkap Raden Moehammad Mangoendiprojo --yang dalam ejaan kekinian biasa ditulis Muhammad Mangundiprojo.
Mangundiprojo merupakan cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak yang merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Pasca Jepang menduduki Indonesia, Mangundiprojo memilih menjadi tentara dengan bergabung menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944 di Buduran, Sidoarjo.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan inti Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Berbagai jabatan pernah dipegang Muhammad Mangundiprojo, mulai dari bendahara Badan Keamanan Rakyat (BKR) Keresidenan Surabaya hingga anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BPKNI) Keresidenan Surabaya. Lalu, ketika Drg Mustopo mengangkat dirinya menjadi "Menteri Pertahanan", Muhammad diangkat sebagai anggota staf Urusan Angkatan Darat.
Peran Mangundiprojo dalam pertempuran bermula dari diangkatnya ia sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur oleh Jenderal Oerip Soemohardjo. Mangundiprojo ditugaskan untuk melakukan kontak biro dengan pasukan sekutu. Selain Mangundiprojo, ada juga tokoh lain yang menjadi kontak biro yakni Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Ruslan Abdulgani, dan TD Kundan.
Sore hari di hari yang sama, Mangundiprojo bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara Inggris dari Kesatuan Gurkha dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia.
Mangundiprojo bersama Kapten Shaw dan TD Kundan kemudian masuk ke dalam gedung untuk bernegosiasi. Namun, tak lama kemudian, TD Kundan lari keluar dan berteriak menyuruh semua orang di lapangan untuk berlindung.
Teriakan TD Kundan diikuti dengan rentetan tembakan dari dalam gedung. Baku tembak pecah. Anggota kontak biro lari menyelamatkan diri. Sementara, Mangundiprojo disekap di dalam Gedung Internatio.
Keesokan harinya, mobil Mallaby ditemukan hangus. Mallaby ditemukan tewas di dalamnya. Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah, lalu mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya.
Ultimatum ini dengan tegas ditolak oleh Mangundiprojo yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukan pertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945.
Pada Januari 1946, Mangundiprojo diangkat sebagai Panglima Komandan TRI Jawa Timur, yang bertugas mengoordinasikan divisi-divisi TKR berkedudukan di Madiun. Selanjutnya, dia dipindahkan ke Staf Kementerian Pertahanan, sebagai penasihat menteri.
Setelah pengakuan kedaulatan RI, Mangundiprojo kembali menjadi pamong praja. Ia sempat diangkat sebagai Bupati Ponorogo dan Residen Lampung lima tahun kemudian.
Mangundiprojo wafat pada 13 Desember 1998 di Bandar Lampung. Jasadnya kini bersemayam di Taman Makan Pahlawan Bandar Lampung. Gelar Pahlawan Nasional Mangundiprojo sendiri baru diberikan pada tanggal 7 November 2014 oleh Presiden Joko Widodo.
(ydp)
(Amril Amarullah (Okezone))