JAKARTA - Tingkat peredaran narkotika di Tanah Air makin mengkhawatirkan. Sekedar catatan, sepanjang tahun 2017 lalu, ada sekira 46.537 kasus narkoba di seluruh wilayah Indonesia yang diungkap Badan Narkotika Nasional (BNN).
Dari data yang dirilis BNN pada akhir tahun 2017, sebanyak 58.365 tersangka berhasil ditangkap. Sedangkan 79 tersangka lainnya ditembak mati lantaran mencoba melawan petugas. Jumlah yang terungkap itu tentu hanya sebagian kecil saja, fakta dilapangan menggambarkan bahwa peredaran narkoba telah menyusup lebih luas hingga ke berbagai profesi dan usia.
Belakangan diketahui, beberapa jenis narkoba dari luar negeri yang tergolong baru seperti Cannabinoid sintesis (terdapat dalam liquid Vape eksport), narkoba cair, bahkan jenis serbuk yang efeknya menyerupai Flakka pun diduga telah beredar di Indonesia.
Untuk wilayah Provinsi Banten, belum ditemukan adanya peredaran Flakka. Berdasarkan keterangan, sementara ini yang berhasil diungkap BNN di wilayah Banten adalah peredaran dan pabrik narkoba berjenis Paracetamol, Caresprodol dan Cofein (PCC), sabu, ekstasi, ganja atau Cannabinoid.
"Jenis narkoba yang beredar masih yang sifatnya stimulan, seperti sabu, ekstasi, Canabinoit atau ganja dan obat-obatan. Flakka belum, PCC sudah ada pabriknya dan telah ditindak oleh BNN beserta Polda Banten," terang Letkol Inf. Sugino, Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten, dikonfirmasi Okezone.
Kata dia, kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, sosialisasi, penyuluhan dan tatap muka juga harus terus digencarkan terhadap masyarakat, agar tak ada lagi ruang yang bisa dimanfaatkan oleh para pengedar narkoba untuk beraksi.
"Peredaran narkoba di Banten kita dari BNN sudah evaluasi, untuk tahun ini tetap meningkatkan edukasi melalui tatap muka, juga melalui media agar masyarakat imun dan menolak narkoba baik dengan program maupun non-program," imbuhnya.
Untuk mengelabui petugas, para produsen narkoba kini telah mengubah tampilan zat psikotropika itu, dari awalnya yang masih berbentuk konvensional seperti pil dan serbuk, hingga yang berhasil diungkap belum lama ini, yakni berwujud seperti permen, serta ada pula yang berupa cairan.
BNN sendiri telah mengidentifikasi sebanyak 68 jenis narkoba baru yang telah masuk dan beredar luas di Tanah Air. Diantara 60 jenis narkoba baru tersebut sudah memiliki ketetapan hukum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 41 Tahun 2017. Sementara sisanya, masih dalam proses karena tergolong jenis baru.
Narkoba Flakka disebut jenis yang paling mematikan. Zat yang mengandung bahan senyawa aktif kimia Alpa Pyrrolidinopentiophenone (Alpha-PVP) itu mampu merangsang naiknya Hormon Dopamin, dimana Dopamin bekerja semacam Neurotransmiter dalam otak. Apabila jumlahnya berlebihan, maka dapat menimbulkan 'kesenangan' di luar batas, agresivitas tinggi, hingga tak sadarkan diri.
Efek samping dari penggunaan Flakka hampir mirip dengan narkoba jenis kokain dan amfetamin, bahkan beberapa sumber menyatakan efeknya meningkat sampai 10 kali lipat lebih mengerikan. Dalam jangka pendek, pengguna akan mengalami euforia yang berlebihan, denyut jantung lebih cepat, kenaikan tekanan darah, disertai perilaku kewaspadaan yang berlebihan.
Sementara, Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten, Abdul Majid mengakui, peredaran narkoba yang paling potensial dilakukan adalah melalui jalur laut. Menurutnya, dengan panjang garis pantai yang mencapai sekira 509 kilometer, maka tentu ruang itu bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh jaringan pengedar narkoba.
"Pengawasan lemah, benar. Apa lagi Banten banyak celahnya. Jalur laut paling rawan, baik selat Sunda atau laut Jawa, juga laut Selatan, semua potensi kerawanan penyelundupan. Apalagi personil kita terbatas, di dalam aturan BNN Provinsi harusnya ada 200an personil, tapi sekarang hanya 61 orang, itu pun yang SDM-nya berasal dari Polri hanya 12 orang saja," ujar Abdul Majid.
Para pegiat anti narkotika mensinyalir, bahwa mata rantai jaringan pengedar narkoba yang luput dari pengamatan petugas masih teramat banyak. Para pelakunya masih bisa leluasa beroperasi, lantaran aturan yang diterapkan dalam Undang-Undang (UU) masih dianggap lemah.
"Ini kondisinya darurat, sedangkan kita masih menggunakan Undang-Undang yang sangat tidak memadai. Sekarang kan banyak jenis baru, cara-cara penindakannya juga masih ribet, bagaimana menangkal peredaran dari luar. Artinya, ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan pelaku (pengedar)," ungkap Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, saat dihubungi terpisah.
Lebih parah lagi, dilanjutkan Henry, jika tak ada upaya penanganan secara sistematis dan struktural atas persoalan narkotika, maka dipastikan fase berikutnya Indonesia akan mengalami kehancuran generasi yang lebih massif.
"Selagi pemerintah tidak juga mengeluarkan Perppu tentang Narkotika dan Psikotropika, maka saya melihat 2018 ini akan lebih parah dari sebelumnya. Jumlah pemakai bertambah, jenis-jenisnya juga bertambah, modus operandinya juga banyak modus baru," katanya.
Letak geografis yang banyak dikelilingi batas laut dengan negara luar, serta pengawasan perbatasan yang dianggap lemah, merupakan salah satu alasan mengapa Indonesia dijadikan sasaran empuk pasar peredaran narkoba oleh para sindikat Internasional.
"Berdasarkan pengamatan kita, memang jalur laut yang sering digunakan," tambah pria yang kini juga menjabat sebagai anggota DPR RI itu.
(Khafid Mardiyansyah)