Selain itu, Presiden mengingatkan bahwa jutaan generasi muda kehilangan harapan akan masa depannya. Kondisi yang memprihatinkan ini sebagian terjadi karena kelemahan internal, namun kontribusi faktor eksternal juga tidak sedikit.
“Apakah kita akan biarkan kondisi yang memprihatinkan ini terus berulang terjadi dan berulang terjadi lagi? Kalau anda bertanya kepada saya, maka saya akan menjawab tidak. Kita tidak boleh membiarkan negara kita terus dalam situasi konflik, kita tidak boleh membiarkan dunia dalam situasi konflik. Penghormatan kita kepada kemanusiaan, kepada humanity seharusnya yang menjadi pemandu kita dalam berbangsa dan bernegara, sekali lagi penghormatan terhadap kemanusiaan,” ucapnya.
Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa sejarah mengajarkan kepada kita semua bahwa senjata dan kekuatan militer tidak akan mampu menyelesaikan konflik. Senjata dan kekuatan militer saja, tidak akan mampu untuk menciptakan dan menjaga perdamaian dunia.
“Yang akan terjadi justru persaingan, perlombaan senjata yang akan terus menciptakan ketegangan. Indonesia adalah negara yang pernah mengalami konflik,” kata Presiden.
Presiden menyebutkan bahwa konflik di Aceh telah terjadi lebih 30 tahun dan dengan menggunakan pendekatan militer saja tidak dapat menyelesaikan konflik di Aceh. Perseteruan yang terjadi di Serambi Makkah itu baru selesai dengan negosiasi dengan dialog. Oleh karena itu, habit of dialogue harus terus dikedepankan.
Habit of dialogue inilah yang juga menjadikan ASEAN, Asosiasi 10 negara di Asia Tenggara mampu menjadi mesin stabilitas dan kesejahteraan Asia Tenggara.
“Saya berharap setiap dari kita, setiap dari kita akan menjadi kontributor dari perdamaian dunia, setiap dari kita menjadi kontributor upaya menyejahterakan dunia demi kemanusiaan, demi keadilan. Kita harus menjadi “part of solution” dan bukan menjadi “part of the problem”. Mari kita bekerja sama demi terciptanya dunia yang damai dan sejahtera demi seluruh umat manusia yang hidup di dunia,” ucap Presiden mengakhiri pidatonya.
(Rahman Asmardika)