KUPANG - Komisi Pemilihan Umum gelar Kampanye Damai mengawali tahapan kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur 2018. "Agenda mengawali tahapan kampanye ini tentu sangat kami dukung demi menjamin terselenggaranya kampanye yang damai demi demokraai yang berkualitas," kata Calon Gubernur NTT Esthon Foenay kepada Okezone di Kupang, Kamis (15/2/2018), usai mengikuti Deklarasi Kampanye Damai yang digelar KPU setempat.
Menurut dia dengan pernyataan dan deklarasi kampanye damai ini maka setiap pasangan calon dan tim akan mampu menjadikannya sebagai acuan dan pedoman bagi pelaksanaan kampanye ke depan. Dengan begitu, kampanye akan bisa berjalan sesuai norma dan tata etika yang berlaku demi menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas serta berintegritas dalam platform demokrasi yang berkualitas.
Esensi kampanye, lanjut Esthon, adalah menyampaikan visi, misi dan program kerja lima tahun ke depan. Bukan sebaliknya, berisikan isu tendensius yang bernuansa kampanye hitam dan isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Cara-cara kampanye itulah yang berpotensi merusak sendi-sendi demokrasi dan kebhinekaan dalam bingkai Pancasila.
"Jika itu terjadi maka tentu akan bisa memantik kekacauan dan pilkada akan tidak berjalan aman dan damai," katanya.
Oleh karenanya Wakil Gubernur NTT 2008-2013 itu mengatakan, semua bisa berjalan baik jika bermula dari diri sendiri para pasangan calon. "Dengan begitu setiap kita bisa mempengaruhi tim dan simpatisan menjauhi kampanye hitam dan bernuansa sara itu," katanya.
Ketua KPU NTT Maryanti Luturmas Adoe meminta empat pasangan calon untuk menaati semua prosedur dan aturan kampanye yang ada. Nilai etik dan moral yang berlandas pancasila harus diutamakan dan dijunjung tinggi. Tidak dibolehkan memanfaatkan politik uang dan politik suku, agama, ras dan golongan (SARA) sebagai menu kampanye. Berlakulah yang santun dan tidak menggunakan kampanye hitam dan menjelekan pihak lain. "Kedepankan visi, misi dan program kerja lima tahun ke depan agar bisa menjadi daya tarik masyarakay memilih pasangan itu," katanya.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTT Jemris Fointuna mengatakan politisasi uang dan isu suku, agama, ras dan antargolongan merupakan ancaman besar bagi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Karena itu selaku lembaga pengawas pilkada, Bawaslu NTT mengharapkan agar tidak menggunakan politik uang dan SARA sebagai cara mempengaruhi pilihan pemilih karena mencederai integritas penyelenggaraan Pilkada.
Bawaslu mengajak pemilih untuk menentukan pilihannya secara cerdas berdasarkan visi, misi dan program kerja, bukan karena politik uang dan SARA. Mendukung pengawasan dan penanganan pelanggaran terhadap politik uang dan politisasi SARA yang dilakukan oleh pengawas pemilu serta tidak akan melakukan intimidasi, ujaran kebencian, kekerasan atau aktivitas dalam bentuk apapun yang dapat mengganggu proses penanganan pelanggaran politik uang dan SARA.
Sementara di tempat sama, Ketua Bawaslu NTT Thomas Djawa meminta peran seluruh tim masing-masing pasangan calon untuk mengedepankan viai, misi dan program kerja pasangan dalam setiap kampanye. Arahan dan imbauan ini tentu memiliki dampak hukum bagi setiap pasangan calon peserta pilkada. Bawaslu tidak menginginkan pelaksanaan pemikihan gubernur diciderai oleh sejumlah nokta hitam politik uang dan isu SARA, karena hal itu merupakan kemunduran poliik berdemokrasi di Indonesia. "Kedepankan hanya visi dan misi serta program kerja dan tetap menjunjung tinggi nilai Pancasila dan Bhineka Tungga Ika," kata Thomas.
Dalam perhelatan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT 2018, KPU menetapkan empat pasangan calon masing-masing Esthon Foenay-Chris Rotok, Marianus Sae-Emiliana Nomleni, Benny K Harman-Beni Litelnoni serta pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat-Yos Nae Soi.
(Erha Aprili Ramadhoni)