Setitik Asa Nelayan Tradisional dari Ketapang

Utami Evi Riyani, Jurnalis
Senin 02 April 2018 18:24 WIB
Nelayan Tradisional di Ketapang, Kalbar yang masih jauh dari sejahtera (foto:Kowel/Okezone)
Share :

MATAHARI begitu terik ketika Tim Okezone tiba di perkampungan nelayan di Desa Suka Bangun, Kecamatan Delta Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat. Namun, udara panas ini tidak terlalu menyiksa tubuh berkat adanya embusan angin dari sebuah teluk yang menjadi tempat para nelayan menebarkan pukatnya.

Lokasi Desa Suka Bangun tak jauh dari Bandara Rahadi Oesman di Kota Ketapang. Hanya butuh waktu sekira 7 menit menggunakan kendaraan roda empat. Jajaran pohon kelapa yang berdiri di tepi jalan seolah memberi tahu bahwa Tim Okezone telah tiba di kawasan pesisir.

Di sebelah kanan terlihat kapal batu bara sedang bersandar di dermaga kecil dan menunggu truk-truk datang mengangkut muatannya. Di tepi dermaga juga tampak beberapa perahu yang biasa digunakan para nelayan untuk “menjemput rizkinya”.

(Nelayan Farijal bersama putranya tengah memperbaiki perahunya yang rusak. foto: Kowel/Okezone)

Sebagian besar kepala keluarga di Desa Suka Bangun memang berprofesi sebagai nelayan. Mereka pergi setiap pagi menggunakan perahu sederhana, lalu pulang ketika sore dengan membawa hasil tangkapan yang kadang banyak, namun juga kadang tak seberapa.

Uang hasil menjual ikan yang mereka peroleh digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk urusan dapur, hingga menyekolahkan anak-anaknya.

Hambatan bagi para nelayan untuk menangkap ikan di Desa Suka Bangun yakni apabila perahu atau pukatnya rusak. Itu artinya mereka harus menunda keinginan melaut dan tidak mendapat penghasilan. Hari-hari tak melaut itu mereka gunakan untuk memperbaiki perahu serta membuat pukat demi bisa menjemput rezeki guna istri dan anak-anak di rumah.

Inilah yang dirasakan seorang nelayan bernama Farijal beberapa waktu lalu. Ia terpaksa menunda aktivitasnya di laut untuk memperbaiki perahu yang bocor.

Tiga hari berada di darat bukanlah ciri seorang nelayan jika perahunya baik-baik saja. Tetapi Farijal, pria 46 tahun ini, sudah berada di darat selama tiga hari karena satu-satunya perahu yang bisa digunakan untuk melaut bocor di salah satu sisinya.

Perahu motor berwarna biru dengan panjang sekira 4 meter itu sedang diperbaiki di balik pepohonan. Farijal bersama putra keduanya sedang mengukur papan panjang bekas ke satu sisi perahu saat kami mendekat.

Putranya yang saat ini duduk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK) turut membantu sang ayah. Dibesarkan di kampung penuh nelayan dengan orangtua yang berprofesi sama, remaja ini tidak lepas dari perahu dan aktivitas mencari ikan.

Bahkan saat tiba pada masa pelatihan kerja (magang), Farijal mengajak anaknya magang untuk membantunya melaut. "Kemarin dan hari ini anak ikut magang (melaut) sama saya," ujarnya.

Ia harus buru-buru menyelesaikan masalah perahunya satu hari ke depan jika tak ingin air pasang menghanyutkan perahunya yang bocor. Sebab jika itu terjadi, artinya ia harus mengeluarkan uang lebih banyak.

Sampah dan Cuaca Jadi Kendala

Selain permasalahan internal seperti perahu yang rusak, kendala juga bisa datang dari luar. Contohnya saat cuaca tidak mendukung, mau tak mau Farijal urung melaut demi keselamatan. Ia juga mengungkapkan kondisi air laut yang kotor saat ini mulai cukup menghambat usahanya mencari ikan.

"Kalau sekarang sih agak susah pencarian, karena air kita juga sudah kurang bagus. Kotor, Sungai Pawan ini sudah kotor. Banyak sampah. Orang dari Hulu buang-buang sampah banyak ke laut, jadi ikan pada jauh," ucapnya.

Dalam sekali menebar pukat, ikan yang didapat Farijal hanya satu atau dua ekor. Hasil laut yang didapat biasanya ikan kakap hingga renjong (kepiting). Namun, kata dia, jika hasilnya bagus, harga kakap putih cukup menjanjikan. Guna menjualnya, ia tak perlu pergi jauh, karena ada pembeli khusus yang datang ke Suka Bangun untuk mengambilnya.

Dalam sehari melaut, hasilnya dapat memenuhi kebutuhan dua hingga tiga hari untuk keluarga dengan anggota sedikit. Tetapi, berbeda dengan Farijal yang harus menghidupi istri dan empat anaknya.

Bantuan Tak Tepat Sasaran

Farijal juga mencurahkan isi hatinya tentang bantuan yang tidak pernah diterima. Menurut dia, bantuan yang digelontorkan pemerintah selama ini tak tepat sasaran, karena justru diberikan kepada mereka yang bukan nelayan. Ia sendiri sudah tinggal dan menjadi nelayan di sana sejak bujang.

"Kalau saya sudah beberapa tahun, ndak pernah dapat bantuan. Waduh, ndak usah cerita lah, Pak. Saya sih dari bujang, sampai sudah anak empat," ujar Farijal diikuti tawa pahitnya.

Bantuan berupa pukat dan jaring untuk menangkap ikan juga sangat jarang. Sesekali ia memegang pukat berwarna putih di dalam perahu dan mengatakan bahwa itu adalah pukat buatan istrinya, Tuti Herawati, yang bahannya dibeli dari hasil sedikit demi sedikit keuntungan yang dikumpulkan.

"Masyarakat ini kan orang susah, namanya nelayan ni. Ndak ada nelayan itu kaya. Kebanyakan kalau nelayan pesisir itu susah. Ya dibantulah gimana mestinya, lihat keadaan motornya," ujar Farijal dengan logat Melayu.

Bantuan yang belum merata itu membuat Farijal harus rajin menabung sedikit demi sedikit, tak hanya untuk menghidupi anak dan istrinya, tetapi juga membeli peralatan pendukung untuk melaut. Seperti saat perahunya bocor, mau tidak mau ia harus menambalnya dengan papan bekas. "Ya gimana, namanya keadaan kita susah," ucapnya.

"Bahaya sih bahaya. Risiko pasti ada, tapi namanya menghidupi keluarga," lanjutnya.

Tangan Terampil sang Istri

Walau hanya dari hasil melaut, Farijal dapat menyekolahkan anak-anaknya. Dia ingin anak-anaknya bisa memperoleh hidup yang lebih baik dari dirinya saat ini.

(Istri Fahrijal, nelayan Ketapang yang ikut membantu suami membuatkan jaring. foto: Kowel/Okezone)

"Biar bagaimana kan demi anak-anak untuk maju. Jangan susah seperti kita," ucap Farijal dengan nada bergetar.

Guna menambah penghasilan demi menghidupi anak-anaknya, Farijal dan istrinya juga membuka warung kecil di rumah. Makanan-makanan ringan dan minuman kemasan menjadi dagangannya sehari-hari.

Tuti juga bertugas membuat pukat jika pukat yang dibawa suaminya rusak. Sebab jika membeli atau memberi upah orang untuk membuat pukat, artinya ia harus mengeluarkan biaya lebih banyak.

"Pukat kita bikin sendiri, masang batunya, pelampungnya kita pasang sendiri. Daripada kita upahkan ke orang kan mending untuk jajan anak-anak, bekal sekolah," jelasnya.

Tuti juga menunjukkan cara membuat pukat di dalam rumahnya. Tangannya lincah mengurai jaring dan mengikatkannya pada tali tambang kecil yang ditahan menggunakan kakinya. Pekerjaan sehari-hari ini akan terus ia lakukan untuk membantu suami dan demi anak-anaknya selama tubuh masih kuat. (amr)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya