Menurut Sutopo Purwo Nugroho, kerusakan buoy sudah tentu memengaruhi akurasi dan kecepatan peringatan dini tsunami.
"Dengan adanya buoy, kita bisa secara tepat dan cepat menentukan ada tidaknya tsunami, kita juga bisa mengetahui daerah mana yang akan paling parah dihantam tsunami. Sehingga penanganan bencana pun bisa lebih fokus." tambah Sutopo.
Pada 2006, BPPT memasang delapan unit buoy tsunami di Samudra Hindia atau barat Simeulue di Aceh, kemudian lautan Mentawai, dan barat Bengkulu, di bagian selatan.
Buoy dipasang di perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Cilacap, Bali, Laut Flores, Laut Maluku, dan Laut Banda. Buoy yang dipasang terapung pada jarak 800 kilometer dari tepi pantai menjadi korban vandalisme atau pencurian.
Berapa anggaran untuk pengadaan dan perawatan buoy?
Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT pernah membuat hitungan biaya. Untuk memasang empat unit buoy tsunami butuh Rp20 miliar. Lalu biaya untuk pemasangan empat titik buoy selama 80 hari termasuk ongkos pemeliharaan darurat berkisar Rp10 miliar.
Total anggaran yang perlu disiapkan pemerintah adalah Rp30 miliar per empat unit buoy. Jika pada awalnya, Indonesia memiliki 22 buoy, setidaknya butuh dana Rp165 miliar untuk merawatnya. BPPT yang mengawal pengadaan dan perawatan buoy, tidak memiliki anggaran.
Apa konsekuensi tanpa buoy?
Menurut BMKG tanpa buoy sebenarnya peringatan dini tsunami juga bisa dilakukan, namun akan lebih baik jika ada buoy, demi kecepatan dan akurasi data termasuk berapa banyak populasi yang bisa selamat karena keputusan peringatan dini tsunami memberikan waktu bagi warga pesisir untuk menyelamatkan diri.
Tetapi ada konsekuensi tanpa Buoy. Desember 2017 lalu, guncangan gempa dirasakan warga di pesisir selatan Jawa, terdapat peringatan dini Tsunami di Pesisir Pangandaran, Jawa Barat yang belum berakhir selama berjam-jam, karena tidak ada bouy yang dapat melaporkan secara aktual tinggi permukaan laut. Peringatan dini tsunami baru berakhir setelah tiga jam, tanpa adanya tsunami.
Berbeda dengan di Palu, ketinggian gelombang saat menghantam daratan pada peringatan dini tsunami sebelum berakhir, tidak bisa dipastikan, ketinggian hingga cepatnya gelombang laut ke daratan diketahui melalui skenario tsunami yang telah diperhitungkan sebelumnya.
Menurut Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT, Wahyu W. Pandoe gempa bumi ini berkekuatan 200 kali Bom atom Hiroshima.
Berdasar analisa simulasi model, atau skenario tsunami, Palu - Donggala mengalami deformasi vertikal berkisar antara -1, 5 sampai 0, 50 meter. Daratan di sepanjang pantai di Palu Utara, Towaeli, Sindue, Sirenja, Balaesang, diperkirakan mengalami penurunan 0, 5 - 1 meter kemudian di Banawa mengalami penaikan 0, 3 cm.
Gempa bumi ini berpusat di darat, dengan sekitar 50% proyeksi bidang patahannya berada di darat dan sisanya di laut. Komponen deformasi vertikal gempabumi di laut ini berpotensi menimbulkan tsunami.
Berdasarkan hasil model, tinggi tsunami di sepanjang pantai mencapai 2.50 meter. Tsunami berpotensi lebih tinggi lagi karena efek turunnya daratan di sekitar pantai dan amplifikasi gelombang akibat batimetri serta morfologi teluk.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dengan parameter yang dimiliki, menyatakan bahwa gempa bumi ini berpotensi menimbulkan tsunami dengan level tertinggi SIAGA di Donggala Barat dengan estimasi ketinggian gelombang tsunami 0,58 m dan estimasi waktu tiba 17.22.43 WIB sehingga BMKG mengeluarkan Peringatan Dini Tsunami (PDT).
Kemudian setelah dilakukan observasi, BMKG menyakan bahwa telah terlewatinya perkiraan waktu kedatangan tsunami, maka Peringatan Dini Tsunami (PDT) ini diakhiri pada pukul 17.36.12 WIB.
Beberapa menit menit setelah Peringatan Dini Tsunami (PDT) ini diakhiri, gelombang tsunami menerjang dengan ketinggian 1,5 meter. Hal ini dikonfirmasi kebenarannya oleh BMKG.
(Angkasa Yudhistira)