Untuk meredam pergolakan di Bonham, Pemerintah Donka menugaskan Kolonel Nazir. Dalam salah satu operasi militer, Kolonel Nazir diduga kuat telah melakukan pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional. Atas dugaan tersebut, upaya dilakukan agar Kolonel Nazir dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) di Den Haag, Belanda. Pra-Peradilan pun digelar untuk menentukan apakah ICC memiliki kewenangan untuk mengadili kasus Kolonel Nazir atau tidak.
Dalam kompetisi ini, setelah mengkaji dan menyusun memorial terkait kasus ini sejak empat bulan yang lalu, para peserta secara bergantian memainkan peran sebagai Penuntut/Jaksa (Prosecutor) atau Pembela/Penasehat Hukum (Defender). Penuntut harus mengungkapkan argumen dan dalil-dalil hukum yang mendukung bahwa Kolonel Nazir telah melakukan pelanggaran HHI dan bahwa dia layak diadili di ICC. Sedangkan Pembela harus membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, secara esensial, para peserta sedang berperan menjadi Penuntut Umum/Jaksa di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Pembela/Penasehat Hukum Tersangka di pengadilan level internasional.
Bukan Soal Kemenangan Semata
Dr. Tristam Pascal Moeliono, Dekan Fakultas Hukum Unpar menyambut baik ditunjuknya Unpar sebagai tuan rumah kompetisi tahunan prestisius ini. Dr. Moeliono juga memandang positif kegiatan kompetisi semacam ini tetapi menekankan bahwa kemenangan bukan segala-galanya.
"Kegiatan ini seyogyanya tidak dipandang semata-mata sebagai ajang kompetisi atau sekedar menunjukkan universitas mana yang terbaik. Ada yang lebih penting dari itu, yaitu menyebarkan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Internasional. Selain itu, membangun kesadaran tentang pentingnya HHI bagi Indonesia harus menjadi tujuan esensial dari kompetisi ini,” papar Dr. Moeliono.
Sementara itu, Alexandre Faite, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor-Leste mengungkapkan bahwa kompetisi ini sangat penting untuk mendukung peran Indonesia yang kian signifikan di bidang Hukum Humaniter Internasional di level internasional. Di sini, para mahasiswa dapat mengasah kemampuan mereka dalam melakukan riset, membuat tulisan, dan melakukan advokasi hukum tentang berbagai dampak kemanusiaan dari konflik bersenjata atau situasi-situasi kekerasan lainnya, imbuhnya.
“Banyak peserta kompetisi ini yang mungkin memilih karir yang berhubungan dengan HHI, tapi saya percaya pengetahuan dan pelatihan terkait HHI menjadi alat yang bermanfaat untuk mengasah logika hukum para peserta, yang suatu saat nanti mungkin dipanggil untuk menjadi pengambil keputusan dalam berbagai kapasitasnya. Ketika itu terjadi, mereka dapat membawa Indonesia atau bahkan dunia ke arah yang lebih sejahtera, bermartabat dan berperikemanusiaan,” jelas Alexandre.