Pemimpin sayap kanan, Marine Le Pen, yang berada dalam pertemuan itu, memperingatkan bahwa Macron bisa menjadi presiden pertama negara itu yang memberi perintah tembak kepada pengunjuk rasa dalam 50 tahun terakhir.
Le Pen mengatakan pemerintah Macron harus mencabut kebijakan kenaikan BBM, menurunkan harga gas dan listrik, serta mencabut pembekuan upah minimum dan pensiun minimum.
Sementara, Menteri Keuangan Bruno Le Maire bertemu dengan perwakilan bisnis untuk membahas dampak unjuk rasa terhadap ekonomi negara itu.
Presiden Prancis Emmanuel Macron (tengah) didampingi para menteri terkait mendatangi sejumlah jalan di kota Paris setelah kerusuhan melanda kawasan itu, 2 Desember 2018. (Foto: AFP).
"Dampaknya parah sekali dan terus dirasakan sampai sekarang," kata Le Maire kepada Kantor berita AFP.
Sejumlah pengecer mengaku mengalami penurunan penjualan sekitar 20-40 persen selama unjuk rasa, sementara beberapa pemilik restoran mengklaim kehilangan keuntungan 20-50 persen dari pendapatan mereka, tambahnya.
BACA JUGA: Kerusuhan Berlanjut, Prancis Pertimbangkan Berlakukan Status Darurat
Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada Kantor berita Reuters: "(Reformasi) akan menghantam kami secara finansial dan menghancurkan perusahaan kami. Kami harus memecat pekerja, itu pasti."
Apakah unjuk rasa akan berakhir?
Unjuk rasa masih terus berlangsung hingga Senin.
Sekitar 50 orang anggota "rompi kuning" sempat memblokir akses ke depot bahan bakar besar di pelabuhan Fos-sur-Mer, di dekat kota Marseille, sehingga dikhawatirkan berdampak peda penyaluran BBM di wilayah itu.
Sementara itu, sejumlah siswa dari sekitar 100 sekolah menengah di seluruh negeri menggelar unjuk rasa menentang reformasi pendidikan dan ujian.
Belum jelas apakah kelompok siswa dan pekerja kesehatan itu bagian dari unjuk rasa gerakan "rompi kuning".
(Rahman Asmardika)