Satir Politik, Ironi Ruang Publik Pemilu

Opini, Jurnalis
Rabu 16 Januari 2019 14:16 WIB
Anggota KPU Jawa Barat, Idham Holik (foto: ist)
Share :

AWAL 2019, lanskap komunikasi politik terisi tidak sekedar memanasnya “perang” retorika politik, tetapi munculnya berbagai satir politik. Misalnya capres-cawapres fiktif “Nuradi-Aldo” yang diusung oleh Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik. Dalam dua minggu setelah dirilis, akun media sosial “Nuradi-Aldo memiliki puluhan ribu pertemanan –81.000 teman di Facebook, 18.600 follower di Twitter, dan 73.000 follower di Instagram (bbc.com, 4/1/2019).

Sigit Pamungkas, Direktur Netgrit (Network for Democracy and Electoral Integrity), mengemukakan bahwa fenomena ini bukan hal baru dalam politik elektoral di Indonesia dan satir politik ini menjadi pertanda kejenuhan politik masyarakat (akurat.co, 5/1/2019). Di tengah atmosfir politik elektoral yang menjenuhkan, satir politik dapat dengan mudah diterima publik, karena mampu menghibur mereka.

Tentunya, tidak hanya di Pemilu di Indonesia. Fenomena satir politik juga berkembang di Pemilu di berbagai negara di dunia, misalnya Amerika Serikat, Rusia, dan lain sebagainya. Satir politik selalu ada di setiap Pemilu –bahkan satir politik sudah ada sejak awal munculnya sistem politik demokrasi itu sendiri di dunia. Satir politik seusia sistem politik demokrasi.

Di Amerika Serikat, pencalonan Donald Trump dalam Pemilu 2016 telah menciptakan menjamurnya (a huge windfall) penulis komedi, kartunis, dan konten satir –dan terus berlanjut pada masa kepresidenannya saat ini. Mengapa demikian? Para ahli mengemukakan, karena Trump memang unik di antara presiden-presiden AS modern.

Profil dan gaya komunikasi politik Trump telah merangsang bermunculannya konten satir (satirical content) di media. Politik Amerika selalu baik untuk berkembangnya bisnis komedi (the comedy business), yang berawal dari George Washington dan berlanjut dengan kebangkitan kartun politik pada Abad ke-19 hingga tayangan komedia The Daily Show (Spangler, 2017).

Gaya komunikasi politik dan personalitas kandidat yang unik serta visi politik kandidat yang dipandang oleh publik aneh atau menentang arus utama wacana demokrasi dalam Pemilu telah memicu berkembangnya satir politik dalam ruang publik Pemilu (electoral public sphere).

Satir sebagai Partisipasi Politik

Dalam politik elektoral, satir politik dapat dipandang sebagai kaunter-wacana (counter-discourse). Misalnya menurut timnya, capres-cawapres fiktif “Nuradi-Aldo” merupakan ekspresi protes politik atas maraknya kampanye hitam dan menurut mereka, satir politik ini bertujuan meredam dampak negatif konflik horizontal antar dua kubu masyarakat dalam Pemilu 2019.

Sebagai bentuk kritik politik berorientasi-hiburan, satir politik telah lama menarik perhatian keilmuan (scholarly attention) dalam hal apakah ini dapat memainkan peran penting dalam memfasilitasi publik berpartisipasi politik. Ada banyak temuan riset di berbagai perguruan tinggi di berbagai negara membuktikan hal ini.

Dalam tesisnya di Universitas Massey, Selandia Baru, Sarah Austen-Smith (2017) menjelaskan bahwa generasi millennial tidak suka memproduksi kolom di media untuk dibaca dan direspon oleh khalayak pembaca, tetapi mereka menciptakan konten satir. Millenial telah menjadikan satir politik sebagai senjata pilihan (weapon of choice) untuk memperjuangkan kepentingan publik. Satir politik dijadikan sebagai piranti partisipasi warga (civic participation).

Berdasarkan hasil penelitian, Hoon Lee (2012) mendapati bahwa tayangan komedi larut malam sebagai humor satir secara tidak langsung memacu partisipasi politik melalui saluran pembicaraan antarpribadi tentang politik dan bahkan dapat menarik tingkat keterlibatan politik yang lebih tinggi dari mereka yang berpendidikan tinggi. Temuan penelitian ini berkontribusi pada pemahaman kita tentang kerja kolaboratif media massa dan komunikasi interpersonal dalam mendorong partisipasi politik.

Kedua temuan riset tersebut di atas berbeda dengan hasil riset Jody C. Baumgartner dan Jonathan S. Morris (2006) yang mengemukaan bahwa penonton televisi yang terpapar tayangan lelucon George W. Bush dan Jhon Kerry di The Daily Show cendrung menilai kedua kandidat lebih negatif dan menunjukan sinisme yang berlebihan terhadap sistem Pemilu dan media berita pada umumnya.

Temuan Baumgartner dan Morris (2006) tersebut yang sangat memprihatinkan. Di sisi lain, temuan riset Hsuan-Ting Chen, Chen Gan, & Ping Sun (2017) menyatakan berbeda dimana ketika sindiran politik dianggap penting secara personal dan membangkitkan kemarahan. Satir politik menjadi faktor pendorong (a motivating factor) yang mengubah seseorang menjadi warga negara aktif.

Mencermati peredaran satir politik dalam Pemilu 2019, konten satir politik didominasi dengan argumentasi fallacy (sesat nalar) dan disinformasi. Satir politik yang demikian tentunya dapat mengukuhkan politik pasca-kebenaran (post-truth politics) atau dunia pasca-fakta (post-fact world). Dengan dikesampingkannya kebenaran dan rasionalitas, tentunya politik pasca-kebenaran tersebut tidak baik untuk Pemilu 2019 dengan semangat demokrasi rasional.

Dengan jelas, Penjelasan UU No. 7 Tahun 2019 tentang Pemilu mendeskripsikan bahwa Pemilu legislatif ditujuan untuk menjamin prinsip keterwakilan dimana para legislator terpilih nanti diharapkan dapat menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan dengan menjalan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal.

Satir politik yang sering kali membuat pemilih mengalami disorientasi politik selama pemilu dikhawatirkan dapat memelihara budaya politik yang tidak baik, yaitu berdampak pada tertahannya peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Pada awal Januari 2019, Unit Intelijen majalah The Economist telah merilis Indeks Demokrasi 2018 dimana dari 167 negara di dunia, Indonesia berada di peringkat 65 dengan nilai 6,39 dengan kategori demokrasi cacat (flawed democracy).

Menurut The Economist, demokrasi cacat (flawed democracy) adalah negara-negara di mana pemilu bersifat adil dan bebas dan kebebasan sipil dasar dihormati, tetapi memiliki masalah seperti budaya politik yang kurang berkembang, tingkat partisipasi yang rendah dalam politik, dan masalah dalam fungsi pemerintahan.

Meningkatkan nilai indeks demokrasi menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia, butuh komitmen semua pihak untuk mengembangkan budaya politik yang rasional. Mengapa demikian, karena di tahun 2018, indeks demokrasi Indonesia berada di bawah negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura di peringkat 66 dengan nilai 6,38, Malaysia di peringkat 52 dengan nilai 6,88, dan Filipina di peringkat 53 dengan nilai 6,71.

Partisipasi rasional pemilih dalam Pemilu harus ditumbuh-kembangkan melalui dialog kristis di ruang publik baik media lama (media massa) ataupun media baru (internet), khususnya media sosial. Melalui internet, kini komunikasi politik interaktif dan tanpa dibatasi ruang-dan-waktu antara pemilih dengan para peserta pemilu sangat memungkinkan sekali.

Jangan sampai demokrasi elektoral Indonesia di era masyarakat jaringan (network society) mengalami seperti apa yang dikemukakan oleh Robert W.McChesney (2000) yaitu rich media, poor democracy. Menjadi ironis, ketika pemilih dibanjiri informasi politik melalui internet, tetapi kualitas demokrasinya rendah sekali.

Satir Politik sebagai Stimulator Dialog Kritis

Sebagai yang diperbicangkan oleh publik secara luas dan massif, satir politik sebenarnya dapat dilihat dengan perspektif yang berbeda yaitu sebagai stimulator atau pemicu dialog kritis di antara warga negara di ruang publik (public sphere).

Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran para komunikator politik seperti politisi (peserta pemilu, tim kampanye dan para pendukungnya), professional (misalnya analis politik, jurnalis), dan aktivis (Nimmo, 1978) harus dapat memandu materi percakapan politik ke arah yang lebih rasional dengan argumentasi yang logis atas visi dan program pemerintahan yang ditawarkan oleh para kandidat selama masa kampaye elektoral.

Dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere, Jurgen Habermas (1989) menyatakan bahwa ruang publik sebagai sarana komunkasi dialogis. Sebagai model percakapan teridealisasi (idealized model of conversation) di antara warga negara terinformasi, dialog politik dalam ruang publik seharusnya dapat menjadi proses pencerahan, tanpa intimidasi atau serangan verbal terhadap siapapun yang terlibat.

Di ruang publik, pemilih dapat mengkonfirmasi dan mendalami serta bahkan mengkritik secara rasional dan terbuka atas gagasan politik dan program pemerintahan yang dikampanyekan oleh para peserta pemilu beserta timnya. Ruang publik yang sehat dapat mengembangkan kehidupan demokrasi elektoral berbasiskan argumentasi logis, bukan sebaliknya dimana kini ruang publik dipenuhi oleh pesan politik yang mengandung ujaran kebencian, berita palsu, dan lain sebagainya yang sekiranya dapat menumpulkan nalar rasional publik dan mengembangkan sikap sinis pemilih.

Perdebatan di ruang publik yang sehat dapat meningkatkan kecepercayaan politik publik (public’s political trust) terhadap proses penyelenggaraan dan hasil pemilu itu sendiri. Kepercayaan politik yang tinggi atas Pemilu 2019 menjadi modal utama untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan status full democracy (demokrasi penuh).

Sudah saatnya, para komunikator politik dapat mentransformasi gaya komunikasi politik sinis dan irasional menjadi rasional dan mencerahkan. Hentikan ruang publik diisi oleh gaya kampanye perang kata-kata dan sebaliknya penuhi ruang publik dengan gaya kampanye programatik atau kontestasi gagasan politik visioner.

Ini menjadi tuntutan yang tak terhidari bagi siapapun yang menginginkan terwujudnya budaya politik yang baik. Oleh karena itu, perdebatan rasional dan programatik harus dihidupkan dan dikembangkan dalam ruang-ruang publik elektoral, apalagi kini sudah dimulainya debat pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada tanggal 17 Januari 2019 untuk pertama kalinya.

Sumber Rujukan: Index 2018

Austen-Smith (2017). The Rise of the ‘Citizen Satirist’. A thesis for fulfilment of the requirements for the degree of Master of Journalism at Massey University.

Baumgartner, Jody C & Morris, Jonathan S. (2006). The Daily Show Effect Candidate Evaluations, Efficacy, and American Youth. In American Politics Research, 34 (3) May 2006: 341-367 DOI: 10.1177/1532673X05280074

Chen, Hsuan-Ting, Gan Chen, & Sun, Ping (2017). How Does Political Satire Influence Political Participation? Examining the Role of Counter- and Proattitudinal Exposure, Anger, dan Personal Issue Importance. International Journal of Communication, 11 (July 2017), 3011-3029.

Habermas, Jurgen (1989/2011). The Structural Transformation of the Pubic Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence from the original work, Strukturwandel der Öffentlichkeit:Untersuchungen zu einer Kategorie der bürgerlichen Gesellschaft. Cambridge: Polity Press

Lee, Hoon (2012). Communication Mediation Model of Late-Night Comedy: The Mediating Role of Structural Features of Interpersonal Talk Between Comedy Viewing and Political Participation. Mass Communication and Society, 15(5), 647–671. doi:10.1080/15205436.2012.664239

McChesney, Robert W. (2000). Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. New York: The New Press.

Nimmo, Dan (1978). Political Communication and Public Opinion in America. Santa Monica, California: Goodyear Publishing, Co. Inc.

Spangler, Todd (2017). Donal Trump’s Presidency Yield Boom in Satirical Comedy TV Series, Apps. Variety, August 17, 2017 9:45 AM. Retrieve at link: https://variety.com/2017/tv/news/donald-trump-satire-comedy-tv-shows-apps-1202528613/ accessed at January 09, 2019.

The Economist, Democracy Index 2018. Retrieve at link: https://www.eiu.com/topic/democracy-index. accessed at January 15, 2019.

Fenomena Nurhadi-Aldo: Titik Jenuh di Pilpres 2019. Akurat.co, Khalishah Salsabila, Sabtu, 05 Januari 2019 16:55 WIB. Link: https://akurat.co/news/id-466801-read-fenomena-nurhadialdo-titik-jenuh-dalam-sebuah-kontestasi-politik

Nurhadi-Aldo: Dari tukang pijat sampai jadi pasangan capres guyonan. Bbc.com, Jumat, 04 Januari 2019. Link: https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-46751492

Penulis: Anggota KPU Jawa Barat dan Alumni Program S-3 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Dr. Idham Holik.

 

(Awaludin)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya