PERNYATAAN tertulis mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto tentang penangkapan terhadap mantan Ketua PPP Muchammad Romahurmuziy (Romi) menarik untuk dikomentari, karena tampak kontroversial, meskipun mungkin tujuannya untuk menggiring KPK agar masuk lebih dalam lagi guna menyingkap siapa sebetulnya pejabat tinggi negara yang berkepentingan di balik kasus ini.
Dalam keterangan tertulisnya yang dipublikasikan di media massa, Bambang dikutip mengatakan "Kasus Romy menjadi menarik karena suap-menyuap yang diduga dilakukannya punya sense sebagai trading in influence. Modus operandinya, tampaknya agak mirip seperti juga terjadi pada kasus korupsi yang dilakukan Irman Gusman maupun Lutfhi Hasan dan beberapa kepala daerah."
Ada dua hal yang perlu dikomentari dari kutipan pernyataan tesebut. Pertama, trading in influence, dan kedua adalah klaim Bambang bahwa kasus Romi ada kemiripan dengan "kasus korupsi yang dilakukan Irman Gusman maupun Lutfhi Hasan dan beberapa kepala daerah."
Cukup mengagetkan bahwa pengacara yang adalah mantan ketua LBH dan mantan pimpinan KPK ini kurang jeli mendudukkan persoalan trading in influence itu dalam hukum positif negara.
Sesungguhnya delik trading in influence belum bisa dipidana, jika mengikuti asas hukum pidana yang semestinya, sebab negara belum menetapkan pasal-pasal sanksi terhadap perbuatan perdagangan pengaruh, meskipun United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) sudah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006.
Sanksi hukum tentang perdagangan pengaruh masih dibahas di DPR RI dan belum ditetapkan sebagai undang-undang, baik sebagai pasal tambahan dalam UU Tipikor maupun dalam aturan hukum lainnya.
Para pengadil mestinya belum bisa menggunakan delik perdagangan pengaruh untuk menjerat seorang tersangka, sebab dasar hukumnya belum ada. Pengadil (hakim) tak bisa mendasari kesimpulannya dalam pemeriksaan perkara pada dasar hukum yang belum ada. Itu kalau kita mau mengikuti asas hukum pidana yang semestinya.
Kedua, cara Bambang Widjojanto menyamaratakan modus operandi kasus Romy dengan kasus Irman Gusman menunjukkan bahwa mantan pimpinan KPK ini kurang memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus Irman Gusman.
Dalam kasus Irman Gusman, sebagaimana yang diuraikan secara rinci dalam buku Menyibak Kebenaran: Eksaminasi Terhadap Putusan Perkara Irman Gusman -- yang berisi anotasi dari belasan profesor dan doktor ahli hukum serta paktisi hukum -- tidak ada mens rea sama sekali.
Bahkan ada pula pakar hukum pidana dari Universitas Gajah Mada, Prof Dr Eddy OS Hiariej, yang mengatakan bahwa terdapat "kekhilafan yang nyata dari hakim" dalam memutus perkara ini, karena pasal dakwaannya tidak tepat bahkan didasari pada dakwaan jaksa yang diwarnai keraguraguan, bukan kepastian.