'Yang Mulia' yang Mulia Akhlak dan Perilakunya

Opini, Jurnalis
Jum'at 05 April 2019 15:50 WIB
Prof. Dr. Eman Suparman, SH, MH (Foto: Okezone)
Share :

Inilah sebabnya maka persidangan itu disebut pengadilan, artinya tempat di mana kebenaran dan keadilan dimuliakan dalam proses persidangan. Itu juga bermakna bahwa setiap persidangan di pengadilan harus selalu menjunjung tinggi kebenaran demi mencapai keadilan. Tanpa adanya kebenaran maka keadilan tak akan pernah bisa dicapai, sebab keadilan adalah buah dari kebenaran.

Proses penanganan perkara harus benar. Mekanisme yang digunakan harus benar. Teks-teks hukum yang dipakai harus benar. Interpretasi terhadap teks-teks hukum itu harus benar dan tidak multitafsir. Hukum acaranya harus benar dan taat asas serta menjunjung tinggi hak asasi manusia yang adalah ciptaan termulia dari Allah.

Pembuktian kesalahan terdakwa harus jujur dan benar. Fakta-fakta persidangan harus disimpulkan secara tepat dan benar. Dan orang yang mendakwa serta menghakimi itu pun haruslah benar perilaku dan motivasinya. Keyakinan hakim yang subyektif itu pun harus benar di hadapan Tuhan yang menyelidiki isi hati hakim.

Apakah prinsip kebenaran abadi ini sungguh-sungguh dihayati oleh para "Yang Mulia" itu di pengadilan? Jawabannya ada pada hasil-hasil persidangan. Dalam banyak kasus kita saksikan bahwa putusan perkara bahkan yang sudah berkekuatan hukum tetap pun masih menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.

Salah satu contohnya adalah kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang meski sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi ternyata diberikan anotasi oleh sejumlah profesor dan doktor ahli hukum serta praktisi-praktisi hukum. Itu terjadi karena mereka menilai melalui eksaminasi ilmiah bahwa putusan perkara ini tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan. Padahal justru kebenaran dan keadilan adalah ruh dari sidang pengadilan.

Kasus Irman Gusman hanyalah satu contoh. Masih ada banyak contoh lain di mana penegakan hukum dianggap kurang atau tidak menghadirkan kebenaran dan keadilan yang merupakan ruh dari persidangan di pengadilan.

Maka saya lalu merenung: Kenapa para "Yang Mulia" itu lupa atau bahkan lalai menegakkan ruh kebenaran dan keadilan itu untuk menjaga marwah dari kekuasaan kehakiman yang sangat kita hormati?

Saya kemudian temukan jawabnya dalam pengalaman saya sendiri yaitu ketika masih memimpin Komisi Yudisial. Saya temukan bahwa masalah utama yang menyebabkan para "Yang Mulia" itu melupakan kemuliaannya adalah kurangnya integritas diri, sehingga mudah tergoda lalu menistakan kemuliaan pengadilan.

Jadi, sebenarnya yang harus dikawal terus adalah integritas pengadil dalam mengerjakan tugasnya masing-masing. Kalau integritasnya ada, hukum yang kurang sempurna pun bisa membuahkan hasil yang baik. Karena pada dasarnya kata kuncinya adalah integritas individu.

Kalau pengadil itu ilmunya baik, moralnya baik, maka sempurnalah tindakannya. Tapi celakanya, kalau integritas moralnya baik tapi kurang ilmunya, maka menjadi tidak sempurna putusannya. Ilmunya ada tapi tidak berintegritas, malah lebih parah itu, lebih rusak dia.

Karena apa? Karena integritas itu harus lengkap — integritas ilmu dan integritas moral. Ketika saya masih di Komisi Yudisial untuk mengawal mereka, saya selalu berpesan pada para hakim: Hendaklah Bapak, Ibu, para hakim itu sekolah lagi, untuk menambah integritas keilmuan. Karena kalau hakim memutus tanpa ilmu, maka hasilnya adalah bencana.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya