Di situ dia bisa memindahkan kekayaan orang kepada yang tidak berhak, bisa mencabut nyawa orang hanya karena putusan hakim, bisa menzalimi orang, memasukan ke dalam penjara, padahal orang itu belum tentu bersalah. Padahal, lebih baik membebaskan seratus orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak layak dihukum.
Akan tetapi integritas itu juga masih ada pengawalnya, yaitu profesionalisme. Kalau seseorang berintegritas tetapi tidak profesional, itu sama saja dengan tidak berilmu. Karena, profesionalisme itu adalah buah dari ilmu yang mumpuni.
Dengan demikian maka ketika seseorang dipanggil "Yang Mulia" maka secara teoritis dia dianggap sudah memiliki integritas keilmuan, integritas moral, dan profesionalisme sehingga dia akan mampu memuliakan pengadilan dengan nilai-nilai mulia yaitu kebenaran dan keadilan.
Orang awam akan bertanya seperti di atas: Apanya sih yang begitu mulia sehingga para hakim itu disapa dengan sebutan "Yang Mulia"? Bukan fisiknya yang mulia tetapi akhlaknya, karakternya, perilakunya, motivasinya, serta integritasnya seperti diuraikan di atas dalam menghadirkan kebenaran dan keadilan itulah yang membuat dia mulia. Karena dia adalah wakil Tuhan untuk menghadirkan kemuliaan Tuhan melalui penyibakan kebenaran dan keadilan dalam persidangan.
Apa yang muncul dalam hati seorang hakim ketika ia disapa "Yang Mulia"? Apakah dia merasa tersanjung? Kalau dia merasa tersanjung, maka dia tak pantas lagi dipanggil "Yang Mulia." Sebab orang yang berakhlak baik dan berintegritas tidak akan mencari pujian dan sanjungan; justru akan rendah hati. Orang yang punya integritas tidak akan angkuh dan merasa diri sendiri yang benar, orang lain semua salah.
Seorang hakim yang berakhlak mulia pasti selalu menyadari bahwa sebutan "Yang Mulia" itu mengandung beban yang amat berat yaitu tanggung jawab kepada Tuhan untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan dalam perkara yang sedang ditanganinya.
Karena hakim dipanggil "Yang Mulia" maka perilakunya pun harus mulia, motivasinya dalam mengadili harus mulia, cara penanganan perkara harus mulia, dan putusan yang ia jatuhkan pun harus mulia tujuannya. Itu yang saya namakan integritas moral. Jadi integritas itu adalah totalitas dari kepribadian; tidak hanya soal karakter.
Kalau hasilnya tidak mulia bahkan menyebabkan kontroversi, sanggahan, dan kritikan, maka dia tak pantas dipanggil "Yang Mulia" karena dia gagal memuliakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang menghidupi atau menjadi ruh dari pengadilan. Karena negara hanya menyediakan pengadilan sebagai satu-satunya tempat di mana orang dapat memperoleh keadilan dalam perkara yang dijalaninya.
Apakah para "Yang Mulia" itu sungguh-sungguh menyadari bahwa mereka sedang memikul tanggung jawab yang besar untuk menghadirkan kebenaran dan keadilan atas nama Tuhan yang dipakai namanya dalam setiap amar putusan pengadilan?
Sebagai orang beragama, kita meyakini bahwa setiap tindakan kita akan dipertanggungjawabkan kelak nanti di akhirat di hadapan Sang Hakim Yang Maha Mulia itu, yaitu Allah swt. Tidak terkecuali putusan dari setiap "Yang Mulia" itu di sidang-sidang pengadilan.
Inilah sebabnya maka ketika para penyelidik, penyidik, pendakwa dan pengadil menegakkan hukum tidak sesuai dengan ukuran dan standar Tuhan, maka mereka bersalah dan jahat di hadapan Tuhan, meskipun di hadapan manusia secara hukum negara mereka dianggap benar atau menganggap dirinya paling benar.
Apalagi jika dalam menangani suatu perkara, para penegak hukum itu menggunakan hukum untuk memenuhi kepentingan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kejahatan terbesar dalam dunia peradilan adalah ketika para penegak hukum mengabaikan nilai-nilai kebenaran dan keadilan hanya karena mengejar kepastian hukum yang semu, sarat kepentingan, dan tak mampu menghadirkan keadilan. Apalagi karena kepentingan politik atau pun kepentingan ekonomi yang sering menjebak penegak hukum.
Akhirnya saya tiba pada suatu kesimpulan sederhana: Tidak mudah, memang, untuk menyandang predikat "Yang Mulia" sebab setiap saat Dia Yang Maha Mulia itu menyelidiki isi hati kita dan menilai apakah mandat yang diterima untuk mewakili-Nya itu sudah dijalankan secara benar, jujur, dan adil sesuai kehendak-Nya.
Bagaimana kalau semua putusan yang dijatuhkan itu benar dan adil menurut ukuran manusia, tetapi salah dan tak adil bahkan jahat di mata Tuhan yang Maha Mengetahui, Maha Benar dan Maha Adil itu?
Di sini dibutuhkan perenungan yang mendalam. Perlu direnungkan apakah tindak-tanduk para pengadil dan penegak hukum lainnya sudah tepat menurut ukuran dan standar Tuhan ataukah hanya memenuhi kepentingan sesaat, merugikan orang lain, dan pada akhirnya membawa bencana bagi diri sendiri kelak di akhirat nanti.
Sebagai rambu yang perlu diperhatikan, sebaiknya para "Yang Mulia" itu senantiasa memeriksa perkara berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya putusan perkara harus selaras dengan kehendak Tuhan, menegakkan martabat manusia sebagai insan ciptaan Allah yang mulia, dan menghadirkan keadilan sebagai perwujudan dari falsafah negara kita yaitu Pancasila.
Oleh: Prof. Dr. Eman Suparman, SH, MH, mantan Ketua Komisi Yudisial yang juga Guru Besar Hukum di Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Hukum Unikom Bandung.
(Arief Setyadi )