Apakah Kita Sedang Menuju pada Kehancuran Peradaban?

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 12 April 2019 08:26 WIB
Kehancuran Romawi Ilustrasi (BBC)
Share :

Dalam bukunya The Upside of Down, ilmuwan politik Thomas Homer-Dixon mengamati bahwa degradasi lingkungan di seluruh Kekaisaran Romawi menyebabkan jatuhnya EROI dari sumber energi pokok mereka: tanaman gandum dan alfalfa. Kekaisaran jatuh bersama EROI mereka. Tainter juga menyalahkannya sebagai penyebab utama keruntuhan, termasuk untuk bangsa Maya.

FAKTOR EKSTERNAL: Dengan kata lain, "empat penunggang kuda", yaitu perang, bencana alam, kelaparan dan wabah. Kekaisaran Aztec, misalnya, diakhiri oleh penjajah Spanyol. Kebanyakan negara agraris awal lebih cepat berakhir karena wabah mematikan.

Konsentrasi manusia dan ternak di pemukiman yang dikelilingi benteng, dengan tingkat kebersihan yang buruk membuat wabah penyakit tidak dapat dihindari dan menjadi bencana besar. Terkadang beberapa bencana datang bersamaan, seperti ketika Spanyol memperkenalkan salmonella ke Amerika.

KETIDAKBERUNTUNGAN:
Analisis statistik tentang kekaisaran menunjukkan bahwa keruntuhan terjadi secara acak tanpa tergantung usia. Ahli biologi evolusi dan ilmuwan data Indre Zliobaite dan rekan-rekannya telah mengamati pola serupa dalam catatan evolusi spesies. Penjelasan umum dari keacakan ini adalah "Efek Ratu Merah": jika spesies terus-menerus berjuang untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang berubah dengan banyak pesaing, kepunahan adalah kemungkinan yang terus ada.

Terlepas dari banyaknya buku dan artikel, kami tidak memiliki penjelasan konklusif mengapa peradaban runtuh. Yang kami tahu adalah: faktor-faktor di atas semuanya dapat berkontribusi. Keruntuhan peradaban adalah fenomena titik kritis, ketika tekanan bertambah dan melebihi kapasitas masyarakat untuk bertahan.

Kita dapat memeriksa indikator bahaya ini untuk melihat apakah peluang kehancuran kita turun atau naik. Berikut adalah empat metrik yang mungkin, diukur selama beberapa dekade terakhir:

Suhu adalah ukuran yang jelas untuk perubahan iklim. PDB adalah proksi untuk kompleksitas dan jejak ekologis adalah indikator degradasi lingkungan. Masing-masing memiliki tren naik yang tajam.

Ketimpangan lebih sulit untuk dihitung. Pengukuran khas Indeks Gini menunjukkan bahwa ketimpangan telah sedikit menurun secara global (meskipun meningkat di dalam negara). Namun, Indeks Gini bisa menyesatkan karena hanya mengukur perubahan relatif dalam pendapatan. Dengan kata lain, jika kekayaan dua orang yang berpenghasilan $ 1 dan $ 100.000 sama-sama naik dua kali lipat, Gini tidak akan menunjukkan perubahan. Tetapi kesenjangan antara keduanya akan melonjak dari $ 99.999 menjadi $ 198.998.

Karena itu, saya juga menggambarkan pembagian pendapatan global 1% teratas. Pendapatan global yang dikuasai 1% telah meningkat secara global dari sekitar 16% pada 1980 menjadi lebih dari 20%.

Lebih penting lagi, ketidaksetaraan kekayaan makin memburuk. Pangsa kekayaan global 1% telah membengkak dari 25-30% pada 1980-an menjadi sekitar 40% pada 2016. Kenyataannya cenderung lebih besar, karena angka-angka ini tidak menghitung kekayaan dan pendapatan yang disimpan di surga bebas pajak luar negeri.

Studi menunjukkan bahwa EROI untuk bahan bakar fosil terus berkurang dari waktu ke waktu karena paling mudah dijangkau dan cadangan terkaya sudah habis. Sayangnya, sebagian besar alternatif terbarukan, seperti matahari, memiliki EROI yang jauh lebih rendah. Sebagian besar karena kepadatan energinya dan kelangkaan logam tanah dan pabrik yang diperlukan untuk memproduksinya.

Ukuran ketahanan

Kabar yang agak melegakan adalah bahwa runtuhnya metrik bukanlah gambaran keseluruhan. Ketahanan sosial mungkin dapat menunda atau mencegah kehancuran.

Sebagai contoh, "keragaman ekonomi" global, yaitu ukuran keanekaragaman dan kecanggihan ekspor negara, kini lebih besar daripada tahun 1960-an dan 1970-an, yang diukur dengan Economic Complexity Index (ECI).

Negara-negara, secara rata-rata, tak lagi bergantung pada jenis ekspor tunggal seperti dulu. Sebagai contoh, sebuah negara yang melakukan diversifikasi di luar mengekspor produk pertanian akan lebih mungkin menghadapi degradasi ekologis atau hilangnya mitra dagang.

ECI juga mengukur intensitas pengetahuan ekspor. Populasi yang lebih terampil mungkin memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merespons krisis yang muncul.


Demikian pula inovasi —yang diukur dengan aplikasi paten per kapita — juga meningkat. Secara teori, sebuah peradaban bisa jadi kurang rentan terhadap kehancuran jika teknologi baru dapat mengurangi tekanan seperti perubahan iklim.

Tapi "kehancuran" pun dapat terjadi tanpa bencana hebat. Seperti yang ditulis Rachel Nuwer di BBC Future pada tahun 2017, "dalam beberapa kasus, peradaban menghilang begitu saja — menjadi bagian dari sejarah tanpa letusan tetapi keluhan".

Namun jika kita melihat semua indikator keruntuhan dan ketahanan ini secara keseluruhan, pesannya jelas bahwa kita tidak boleh berpuas diri. Ada beberapa alasan untuk bersikap optimis, berkat kemampuan kita untuk berinovasi dan melakukan diversifikasi, menjauhkan diri dari bencana.

Namun dunia semakin memburuk di daerah-daerah yang telah berkontribusi pada runtuhnya kebudayaan sebelumnya. Iklim sedang berubah, kesenjangan antara si kaya dan si miskin melebar, dunia menjadi semakin kompleks, dan tuntutan kita terhadap lingkungan melampaui kemampuan daya dukung planet.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya