Mencermati Esensi Hari Buruh Internasional Pasca Pemilu 2019

Opini, Jurnalis
Selasa 30 April 2019 08:09 WIB
Peringatan Hari Buruh (Ilustrasi Okezone)
Share :

ISU ketenagakerjaan dan aksi unjuk rasa buruh diprediksi akan kembali menghiasi panggung politik nasional bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional atau ‘May Day’ yang jatuh pada 1 Mei 2019. Aksi unjuk rasa yang dilakukan buruh tersebut dapat dipahami sebagai cara mereka dalam menyuarakan tuntutannya terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan, seperti status kekaryawanan, pembayaran tunjangan hari raya, dan hal lain yang bersifat peningkatan hak-hak buruh. Pekerjaan rumah yang dihadapi pemerintah Indonesia di bidang ketenagakerjaan memang masih seputar ketersediaan lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia, dan tingkat upah serta jaminan sosial.

Berbicara mengenai isu lapangan kerja tentunya bukan lagi menjadi topik baru bagi kita. Sejak Indonesia merdeka, dari kepemimpinan sebelum-sebelumnya, pemerintah Indonesia terus berupaya membangun ekonomi nasional di berbagai sektor kehidupan. Tujuannya tentunya tak lain adalah dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi nasional yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Indonesia secara adil dan merata sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang, naik 2,39 juta orang dibanding Februari 2017. Sementara penduduk yang bekerja sebanyak 127,07 juta orang, atau bertambah 2,53 juta orang dibanding Februari 2017. Dari total 127,07 juta orang yang bekerja tersebut, sebanyak 7,64 persen masuk kategori setengah menganggur dan 23,83 persen pekerja paruh waktu. Rata-rata upah buruh pada Februari 2018 sebesar 2,65 juta rupiah, tertinggi di kategori Jasa Keuangan dan Asuransi, yaitu sebesar 4,13 juta rupiah, sedangkan terendah di kategori Jasa Lainnya, yaitu sebesar 1,44 juta rupiah.

Meski ajang Pemilu 2019 telah usai dilaksanakan dan hanya tinggal menunggu hasil resmi dari KPU, tak dapat dipungkiri kontestasi nasional tersebut telah menyebabkan polarisasi politik di masyarakat. Masyarakat Indonesia seolah-olah terbelah ke dalam dua kutub yang saling berseberangan atas sebuah kekuatan politik dan ideologi yang diusung pasangan capres dan cawapres. Pun demikian dengan gerakan buruh yang semakin terorganisir dalam serikat pekerja. Mereka tidak lagi hanya sekadar memperjuangkan kepentingan hak-haknya selaku pekerja saja, namun lebih dari itu, mereka secara terbuka juga mulai masuk ke ranah politik praktis.

Sejak era reformasi, sebenarnya serikat buruh/pekerja telah melakukan politik praktis sebagai partai politik peserta pemilu. Pada Pemilu 1999, misalnya, partai yang berasal dari serikat buruh/pekerja antara lain yaitu Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, Partai Buruh Nasional, Partai Solidaritas Pekerja, Partai Pekerja Indonesia. Kemudian, pada Pemilu 2004, Partai Buruh Sosial Demokrat dan Pemilu 2009 Partai Buruh dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia.

Namun, faktanya, selama tiga kali menjadi peserta Pemilu, perolehan suaranya tidak begitu signifikan. Sebagai alternatinya, serikat buruh/pekerja harus berafiliasi dengan partai politik yang ada saat ini dalam rangka mengusung agenda membela kepentingan buruh.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya