"Bapak ibu, boleh saya cerita bapak ibu? Seumur-umur Pemilu dilaksanakan, jujur, boleh saya jujur? Nggak apa-apa ya? Bapak-bapak ada yang sudah senior, nggak sebut sepuh karena berjiwa muda. Seumur-umur kita melaksanakan Pemilu, pesta demokrasi, ada tidak petugas KPPS yang meninggal? Tidak ada ya? Tidak ada. Tapi kemarin, ada berapa petugas KPPS yang meninggal? 229 orang? Itu dari kalangan sipil, dari kepolisian berapa yang meninggal? Jadi total berapa? 390 orang meninggal. Sesuatu yang belum pernah terjadi dan ini tidak masuk di akal. Bapak ibu sekalian, ada yang sudah mendapat informasi mengenai ini?
Tapi ini nanti di-skip ya. Bapak ibu sekalian yang dirahmati Allah, ketika semua yang meninggal ini dites di lab, bukan diautopsi, dicek di lab forensiknya, ternyata apa yang terjadi? Semua yang meninggal ini, mengandung dalam cairan tubuhnya, mengandung zat yang sama, zat racun yang sama. Yang disebar dalam setiap rokok, disebar ke TPS. Tujuannya apa? Untuk membuat mereka meninggal setelah tidak dalam waktu yang lama. Setelah satu hari atau paling tidak dua hari. Tujuannya apa? agar mereka tidak memberikan kesaksian tentang apa yang terjadi di TPS”
Dalam kasus ini polisi menjerat Rahmat dengan pasal berlapis yaitu Pasal 14 ayat 1 dan atau Pasal 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1946 dan atau Pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan terhadap UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 207 KUHPidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
(Qur'anul Hidayat)