Mustaqim melanjutkan, Soedarsono pernah tinggal di sebuah rumah di Jalan Kesambi Nomor 43 Kota Cirebon. Ia tinggal bersama dengan istrinya yang bernama Moesfiah. Dari pernikahannya dengan Moesfiah, Soedarsono kemudian dikaruniai empat orang anak sampai masa pendudukan Jepang tahun 1942. Salah satu anaknya bernama Juwono Sudarsono, yang kelak menjadi seorang diplomat,
akademisi dan politisi ulung serta pejabat menteri di era pemerintahan 5 presiden yakni Presiden Soeharto, Baharuddin Jusuf Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada masa pendudukan Jepang, pendapatan Soedarsono yang menjabat sebagai kepala Rumah Sakit Kesambi hanya sebesar 300 golden. Selain menjadi dokter, Soedarsono juga diketahui aktif menjadi anggota organisasi pemuda bernama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).
"dokter Soedarsono pernah masuk ke Perkumpulan Pemuda. Dan menjabat Penulis, Ketua Pemuda Indonesia 1928 - 1929," ujar Mustaqim.
Nama Soedarsono dikenal luas dan masuk sebagai tokong berpengaruh dalam arsip dokumen yang dibuat Jepang, tidak lain karena ia aktif dalam organisasi pemuda itu. Bahkan, ia juga pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Indonesia Muda pada tahun 1933.
Pernah Menjabat Sebagai Menteri Dalam Negeri Dalam Kabinet Sjahrir II
Diterangkan Mustaqim, Soedarsono menjadi salah satu tokoh menonjol dalam gerakan sosial yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Oleh karena itu, pengaruh dan namanya sangat diperhatikan pihak Jepang kala itu.
Saat Jepang menyerah pada Sekutu, pergerakan dari para pemuda di seluruh daerah mulai muncul. Terutama di Kota Cirebon. Waktu itu, sambung Mustaqim, ketika Sukarno menolak untuk segera memrpoklamirkan kemerdekaan Indonesia, Sjahrir kemudian meminta Soedarsono supaya melakukan proklamasi di Alun-Alun Kejaksan Kota Cirebon, pada tanggal 15 Agusgus 1945.
Tidak butuh waktu lama, Soedarsono beserta para pemuda di Cirebon di tanggal 15 Agustus 1945, akhirnya mengumumkan proklamasi versi mereka sendiri.
"Peristiwa 15 Agustus di Cirebon termasuk dalam upaya masyarakat Cirebon yang ingin Indonesia merdeka. Bebas dari penjajahan. Tapi tetap yang diakui adalah Proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus," bebernya.
Berdasarkan informasi yang dirangkum Okezone dari berbagai sumber, ada versi lain yang menceritakan bagaimana proses pembacaan naskah proklamasi buatan Sjahrir oleh Soedarsono.
Hadidjojo Nitimihardjo dalam bukunya 'Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan (2009)' mengisahkan, ketika berita kekalahan Jepang dari Sekutu sudah tersebar luas, di sebuah pengungsian di wilayah Palimanan, dengan inisiatif sendiri Soedarsono menemui Maroeto Nitimihardjo. Ia datang untuk meminta naskah proklamasi buatan Sjahrir yang dikatakan dititipkan kepada Maroeto.