Kudeta Militer Myanmar, Warga: Seperti Deja Vu, Kami Seperti Kembali ke Masa Lalu

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 05 Februari 2021 06:11 WIB
Pasukan militer melakukan kudeta di Myanmar pada 1 Februari 2021 (Foto: Reuters)
Share :

  • Hidup dalam keheningan

Kyaw Than Win, 67 tahun, masih ingat di mana dia berada saat kudeta militer terjadi tahun 1988.

Kyaw tinggal di Min Bu, sebuah kota di kawasan tengah Myanmar. Dia berkata, waktu itu penembakan dan kekerasan terjadi di kota lain. Tapi Min Bu relatif tenang dan tenang.

Setelah kudeta itu, kata Kyaw, kebanyakan orang meneruskan keseharian seperti biasa. Meski begitu, dia menyebut orang-orang tidak membicarakan kudeta secara terbuka.

"Kami kembali bekerja. Beberapa pegawai negeri yang terlibat unjuk rasa diberhentikan dan sebagian lagi dipindahkan atau mendapat penurunan pangkat, dan ada juga yang ditahan," kata Kyaw.

"Tapi untuk pegawai negeri seperti saya, kami kembali bekerja seperti biasa. Kami harus memaksa diri untuk menjalani hidup dalam keheningan karena ketakutan."

Sebagian besar kehidupan Masyarakat Myanmar berlanjut seperti itu hingga pemilu tahun 2015, saat pemilu digelar di negara itu untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir.

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi menang telak dalam pemilu itu. Mereka mengakhiri pemerintahan militer yang berlangsung hampir selama 50 tahun.

"Saya sangat senang bahwa seseorang seperti Suu Kyi memimpin negara ini. Pemerintahannya menjalankan tugas dengan baik. Infrastruktur umum dasar diperbaiki dan kehidupan pegawai negeri juga meningkat," kata Kyaw.

"Hidup menjadi jauh lebih baik," klaimnya.

Namun, ternyata masa-masa itu berumur pendek. Menurut Kyaw, keputusan militer melakukan kudeta awal pekan ini mengkhianati "harapan jutaan orang".

Menurut Profesor Simon Tay, ketua Singapore Institute of International Affairs, angkatan bersenjata Myanmar masih yakin bahwa hanya mereka yang dapat menjaga persatuan negara itu.

"Meskipun NLD menyapu dua pemilihan umum, mereka tidak menerima bahwa mereka harus mundur dari politik nasional," kata Tay.

Namun Tay menilai "hanya sedikit kelompok, bahkan di kalangan militer, yang ingin kembali ke masa ketika Myanmar terperosok oleh otokrasi, sanksi ekonomi dan kemiskinan massal".

"Tapi transisi dan upaya Myanmar membuka diri masih jauh dari selesai dan militer akan melakukan apa yang mereka anggap harus mereka lakukan," ujar Tay.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya