Kudeta Militer Myanmar, Warga: Seperti Deja Vu, Kami Seperti Kembali ke Masa Lalu

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Jum'at 05 Februari 2021 06:11 WIB
Pasukan militer melakukan kudeta di Myanmar pada 1 Februari 2021 (Foto: Reuters)
Share :

  • Penyadap di balik telepon

Warga Myanmar lainnya, Phyo (bukan nama sebenarnya), memiliki pengalaman yang sangat berbeda saat tumbuh dewasa.

Laki-laki berumur 25 tahun yang lahir dan besar di Yangon ini berasal dari keluarga yang lebih kaya dibandingkan Wai Wai. Dia mengaku terlindungi dari hiruk-pikuk yang terjadi di Myanmar.

Namun Phyo mengingat beberapa hal menonjol yang terjadi saat dia masih anak-anak.

"Ketika Anda berbicara di telepon, Anda dapat mendengar suara lain, misalnya seseorang yang menonton televisi atau suara orang yang sedang berbicara. Mereka adalah aparat militer yang mengawasi Anda," ujarnya.

"Itu tidak menakutkan, karena ketika Anda lahir dalam situasi itu, Anda tidak mengetahui kondisi yang berbeda dengan keseharian Anda.

"Tapi orang tua kami memberitahu agar kami tidak menggunakan telepon," tuturnya.

Phyo lahir tahun 1995 atau tiga tahun setelah diktator militer Than Shwe berkuasa. Phyo menyebut tahun kelahirannya sebagai "puncak kekuasaan militer setelah revolusi tahun 1988".

Di sekolah, kata Phyo, kurikulum sekolah disusun dengan sangat selektif terkait hal-hal yang akan diajarkan kepada murid.

"Para guru tidak mengajarkan hal-hal sensitif. Jika di Amerika Serikat pendidikan mungkin membuat Anda mengkritik situasi politik, kami malah diminta membaca dongeng-dongeng Buddha," ucapnya.

"Atau Anda akan belajar bahwa raja-raja Myanmar benar-benar hebat sampai semua jengkal tanah mereka diambil Inggris."

Bagaimanapun, Phyo mengaku terlindungi dari pergolakan politik negaranya sampai usia 12 tahun.

"Saya masih ingat saat itu adalah ulang tahun saya yang ke-12 ketika Revolusi Saffron terjadi. Saat itulah saya tersadar bahwa kami hidup di bawah kediktatoran," kata Phyo.

Revolusi Saffron adalah serangkaian unjuk rasa jalanan di Myanmar pada tahun 2007. Kala itu ribuan biksu di Myanmar bersatu melawan rezim militer.

Biksu sangat dihormati oleh kebanyakan orang di Myanmar, negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Tapi banyak biksu dipenjara pada revolusi itu. Sebuah laporan menyebut setidaknya tiga biksu dibunuh militer kala itu.

"Saya melihat banyak pengunjuk rasa di luar rumah say. Ada ketegangan dan ketakutan. Tentara ada di mana-mana," kata Phyo.

Saat tumbuh menjadi seorang remaja, Phyo melihat bahwa ponsel hanya digunakan oleh orang-orang mampu di Myanmar.

"Pemerintah membuat harga ponsel sangat mahal, jadi tidak ada yang mampu membelinya.

"Dulu masyarakat hanya memiliki sambungan telepon rumah tapi kadang-kadang terjadi pemadaman listrik sehingga Anda tidak bisa menghubungi siapa pun," ujarnya.

Phyo melanjutkan pendidikan ke universitas di luar negeri. Saat itulah dia menyadari banyak hal di Myanmar sangat berbeda dengan apa yang terjadi di negara Barat.

"Saya ingat, jika melihat polisi kawan-kawan saya akan berkata, 'mereka menakutkan!' Tapi bagi saya, melihat tentara berkeliaran di mana-mana adalah hal normal," ujarnya.

Pagi hari pada 1 Februari lalu, Phyo bangun jam 6 pagi karena puluhan notifikasi muncul di ponsel pintarnya.

"Anda baru saja bangun dan tiba-tiba seluruh pejabat pemerintahan Anda ditangkap," katanya.

"Ketika masih anak-anak, saya terbangun dengan berita-berita seperti ini, bahwa orang tiba-tiba masuk penjara atau menghilang.

"Rasanya seperti deja vu, kami seperti kembali ke titik awal seperti keadaan yang dulu. Upaya yang telah kami lakukan, segala legitimasi yang semua kami berikan kepada pemerintah hilang," ujar Phyo.

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya